Kamis, 17 November 2016

Sejarah Yang Dikaji Dalam Aspek Geografi

MAKALAH
Sejarah Yang Dikaji Dalam Aspek Geografi



Di susun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Geografi Kesejarahan

Dosen : Ika Rahmatika Chalimi, M.Pd

Di Susun oleh :
1.      EVI                                                           (F1231161013)
2.      ABDUL ADZIM                                     (F1231161029)
3.      ERWAN DARMAWAN                         (F1231161038)
4.      RINI PUSPITA SARI                             (F1231161022)
5.      KARTIKA            JANUARTI                           (F1231161017)
6.      SUPRIADI                                               (F1231161024)
                       7.ANGELIA OVI ADVENIATI                 (F1231161014)
JURUSAN ILMU ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN SEJARAH
PONTIANAK
2016


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini  dapat terselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk membahas mengenai “Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia”
Untuk itu kami menyusun makalah ini dengan harapan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami lagi tentang demokrasi yang ada di Negara Indonesia ini untuk memperlancar proses pembelajaran.
Namun demikian tentu saja dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan dan pemilihan kata yang tepat. Dengan ini, kami memohon maaf jika dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan.Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wa’alaikumsalam Wr.Wb.



                         Pontianak, 19 Oktober 2016



            Penulis








DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul  ..…………..….………………..……………………………………………..  i
Kata Pengantar  ..…………..….………………..…………………………………………….  ii
Daftar Isi  .…………………..………….………………………...……….…………………. iii
Bab I       PENDAHULUAN  ..…….…...………………………………………….…………. 1
A.    Latar Belakang  ………………...…………………………………….……….... 1
B.     Rumusan Masalah  ...……………...…………………………………………....  2
C.     Tujuan ……….. .….…………..….…………………………………………….  2
Bab II      PEMBAHASAN  ………………….....……………………..……………………..  4
A.    Gempa Besar Pemicu tsunami di NAD dan Sumut .…...……………...………..  4
B.     Berbagai Permasalahan pada kesehatan lingkungan pasca tsunami  .…….…….  6
C.     Upaya Penanggulangan dan Pencegahan Permasalahan Kesehatan ……………..8
D.    Perencanaan NAD Pasca Tsunami ………….………..…………..……..……..  12
Bab III    PENUTUP  ……………………………...........……………..……………...….… 18
A.    Kesimpulan  …………………………....……………………………….……….  18
Daftar Pustaka   ……………………………………...……………………………………….  19



 BAB I
PENDAHULUAN

1.1                   Latar Belakang
Indonesia tidak mungkin terlepas dari adanya gempa bumi. Gempa dapat terjadi disemua daerah. Beberapa lempeng bumi bertemu dan beradu atau berbenturan sejak dahulu, di kepulauan Indonesia ini. Banyak tempat rawan akan gempa dan tsunami di Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia secara geografis maupun geologi merupakan negara kepulauan yang terletak pada empat lempeng tektonik yang bertemuan, yaitu: lempeng Euroasia, Australia, Pasifik, dan Filipina.
Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara tanggal 26 Desember 2004 lalu sangatlah luar biasa. Hempasan ombak yang merasuk jauh ke pantai menghancurkan daratan. Kota-kota yang terletak di sepanjang pantai Barat Aceh dan Sumatra Utara, terutama dari Banda Aceh hingga Meulaboh, dibuat porak poranda.
Peristiwa ini menyebabkan kerusakan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Hampir 230,000 orang tewas — 160,000 di Provinsi Aceh — kebanyakan mereka adalah wanita dan anak-anak[1].  Masyakarat terkoyak, mata pencaharian hilang, keluarga, sekolah dan fasilitas kesehatan hilang terbawa arus besar. Selain itu, terdapat kerusakan skala besar dan sumber daya yang besar pula. Sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama dalam rehabilitasi daerah tersebut dan memulihkan dengan lebih baik. Tidak hanya Indonesia yang mengalami kerusakan akibat gempa 8,9 skala richter dengan episentrum di sekitar Meulaboh itu, tetapi juga negara-negara yang terletak di teluk Banggali dan juga jauh hingga Benua Afrika.
Gempa bumi ini tergolong terbesar keempat sepanjang sejarah. Efek dari gempa bumi dan tsunami ini bukan hanya seketika, tetapi mendunia. Istilah tsunami begitu sering diungkapkan oleh warga. Selain itu dampak buruk tsunami yang diakibatkan oleh gelombang yang sangat dahsyat dengan ketinggian ketika masuk ke daratan bisa mencapai 15 meter dan kecepatan bagai pesawat tempur.
Keadaan pesisir pantai pasca tsunami mengalami kerusakan, sebagian besar vegetasi pelindung kawasan pesisir mati akibat hantaman gelombang. Vegetasi yang mati meliputi hutan mangrove, hutan pantai dan hutan hujan tropis dataran rendah. Akibatnya, hutan kawasan pesisir yang rusak tersebut secara alami juga akan mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena pusat terjadinya gempa berada di sekitar Samudera Hindia (Suryawan dan Mahmud, 2005). Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagai peredam hempasan gelombang.
Banyak orang menjadi sangat takut dengan tsunami, seperti semua gempa yang terjadi segera dianggap dan dihubungkan dengan akan terjadinya gelombang tsunami. Dari hal ini menjadi penting agar segera melakukan kegiatan edukasi dan sosialisasi mengenai bencana alam yang benar kepada masyarakat. Masyarakat dipersiapkan dan diwaspadai terhadap setiap ancaman yang akan terjadi. Akan tetapi, sikap ini harus disertai dengan pemahaman yang benar. Saatnya secara sadar diberikan pengajaran kepada seluruh masyarakat tentang apa-apa yang harus dilakukan apabila terjadi bencana, karena pemahaman yang keliru bukan hanya merugikan, tetapi dapat membahayakan diri sendiri.
Bencana berlalu, namun masih menyisahkan duka yang mendalam menyelimuti Indonesia. Banyaknya korban jiwa, yang telah terindetifikasi maupun hanyut dilaut luas. Bukan hanya itu, kehancuran sendi-sendi perekonomian di Aceh serta permasalan lingkungan yang sangat kompleks. Upaya pemulihan meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya rehabilitasi bertujuan mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik. Upaya rekonstruksi bertujuan membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik.
1.2                   Rumusan Masalah
Karya ilmiah ini akan dibagi beberapa pokok masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas, yaitu:
·         Siklus tsunami
·         Kerusakan pasca tsunami
·         Upaya-upaya penanggulangan pasca tsunami
·         Upaya perencanan tata ruang pasca tsunami
                   
1.3                   Tujuan
Berdasarkan pada latar belakang, maka makalah ini bertujuan untuk dapat memahami bagaimana siklus tsunami, bagaimana karusakan pasca tsunami yang berdampak pada kesehatan lingkungan serta kesehatan korban. Selain itu memberikan informasi upaya-upaya penanggulangan pasca tsunami dan mengetahui upaya perencanan tata ruang pasca tsunami .
Dengan demikian kita sebagai warga negara Indonesia dapat paham ataupun mengenal kriteria bencana dalam negaranya sendiri. Selain itu, kita juga dapat menilai dan menganalisis bagaimana perkembangan serta pengawasan akan bencana yang akan terjadi maupun yang telah terjadi.






























BAB II
PEMBAHASAN
                            
2.1 Gempa besar pemicu tsunami di NAD dan Sumut
Menurut peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi dan Geofisika, gempa berskala kecil dan besar banyak melanda Indonesia, mulai dari Nusa Tenggara hingga Sumatera. Pusat gempa sebagian besar di perairan yang relatif dekat dengan pulau-pulau tersebut. Hal ini berhubungan dengan adanya pertemuan lempeng benua di dasar laut, dan diketahui bahwa sebagai tempat bertemunya tiga lempeng benua terdapat di bawah perairan Indonesia. tiga lempeng benua tersebut ialah, lempeng Hindia atau Indo-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di utara, dan lempeng Pasifik di timur.
Gempa yang terjadi di perairan barat Nanggroe Aceh Darussalam, Nicobar, dan Andaman, hari minggu 26 Desember lalu merupakan akibat dari interaksi lempeng Indo-Astralia dan Eurasia. Gempa-gempa besar pada skala magnitudo 5,8 hingga 9,0 berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 kilimeter tergolong gempa dangkal, namun telah menimbulkan gelombang tsunami yang menerjang wilayah pantai di Asia Tenggara dan Asia Selatan, yang berada di sekitar tiga pusat gempa tersebut
Gempa berskala besar, kata Dr.Prih Haryadi kepala Pusat Sistem Data dan Informasi Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), menimbulkan patahan berdimensi ratusan kilometer jaraknya dari pusat gempa hingga memicu gempa lain. Gempa di Aceh menimbulkan dampak kegempaan hingga radius 200 kilometer. Diantaranya memicu gempa di Kepulauan Nicobar di sebelah utara pusat gempa pada jarak 550 kilometer serta mengguncang Pulau Andaman.
Selain menimbulkan getaran yang kuat, gempa kali ini juga menyebabkan timbulnya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi berupa penurunan permukaan dasar laut tersebut mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami di pantai. Daerah yang rawan tsunami adalah daerah yang berpantai landai dan berupa teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang terperangkap hingga naik ke darat.
Ancaman gempa tsunami berada sepanjang pertemuan lempeng mulai dari timur kepulauan Maluku, selatan Nusa Tenggara dan Jawa, hingga barat Sumatera. Umumnya, gempa subduksi di laut yang berkekuatan minimal 6,2 pada skala Richter sudah dapat menimbulkan gelombang tsunami. Namun, yang lebih kecil dari itupun dapat menimbulkan gelombang pasang, bergantung pada lokasinya dan pola subduksi serta topografi dasar laut.
Gempa di Meulaboh dilaporkan bukan saja telah menimbulkan tsunami di daerah barat NAD, tetapi juga menerjang pulau Sabang. Gempa di Nicobar yang berkekuatan 7,3 skala Richter ini yang dipicu oleh gempa meulaboh, dan gempa tersebut pula menyebabkan timbulnya tsunami di Songla dan Phuket (Thailand),menurut perkiraan Dr.Prih.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Dr. Heri Haryono, gempa yang posisinya di dekat Pulau Simeulue (NAD) itu terjadi karena mekanisme kompresi atau subduksi, yaitu lempeng Samudra Hindia menujam bagian bawah lempeng Asia Tenggara (yang merupakan subduksi lempeng Benua Eurasia). Karena hal yang terjadi adalah gempa subduksi, yang menyebabkan menunnya permukaan dasar laut di tempat pertemuan lempeng tersebut, maka akan timbul gelombang laut yang merambat dan menerjang pantai di dekatnya.
Sebelum penurunan permukaan dasar laut, terjadi pecahnya batuan dibawah lempeng benua yang tidak kuat menahan subduksi lempeng dan terjadi pergeseran. Dengan adanya pergeseran, tiba-tiba menimbulkan guncangan tanah (gempa bumi) disertai pelentingan batuan, terjadi di bawah pulau dan dasar laut. Hal ini menggoyangkan air laut hingga menimbulkan gelombang laut yang lebih akrab disebut sebagai tsunami. Tsunami biasanya ditandai dengan air laut yang surut setelah gempa bumi. Beberapa menit setelah pantai surut terjadilah gelombang membalik yang sangat besar.
Gambar 1 Proses Terjadinya Gempa Dan Stunami
  Description: scan H.31


2.2 Berbagai permasalah pada kesehatan lingkungan pasca tsunami
Peristiwa besar yang dialami daerah Nanggro Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004 lalu, tetutama dalam permasalahan kesehatan. Permasalahan yang ada sangatlah beragam, seperti terganggunya kesehatan masyarakat Aceh maupun kesehatan lingkungan setelah terjadinya tsunami. Dalam hal ini akan lebih banyak pembahasan mengenai kesehatan lingkungan, karena faktor penyebab yang paling banyak mempengaruhi kesehatan korban ialah adanya gangguan lingkungan yang diakibatkan oleh gelombang besar tsunami. Selain itu, lingkungan sekitar harus segera di perbaikan darurat (sementara) untuk pengungsian, pelayanan kesehatan maupun kegiatan lainnya yang dibutuhkan bagi para korban.
Gangguan kesehatan lingkungan serta dampaknya.
a.              Jenazah dan bangkai hewan
Menurut buku terbitan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), Environmental Health in Emergencies and Disaster: a Practical Guide, menggungkapkan bahwa jenazah umumnya tidak menimbulkan gangguan kesehatan serius, kecuali jika mencemari sumber air minum dengan tinja atau terinfeksi oleh tifus atau pes yang bisa disebarkan lalat atau kutu
Jenazah tidak menimbulkan ancaman kesehatan jika ditangani secara benar, dikarenakan kuman penyakit tidak bertahan lama dalam tubuh manusia yang telah mati, kecuali HIV yang bisa bertahan sampai enam hari. Selain itu, petugas yang menangani jenazah berisiko tertulartuberkulosis, penyakit yang menular lewat darah (hepatitis B dan C serta HIV) serta infeksi pencernaan. Tuberkilosis bisa menular melalui udara jika kuman terbang ke udara dari sisa udara di paru jenazah, paparan penyakit melalui darah terjadi jika ada kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah korban.
Sedangkan infeksi pencernaan terjadi karena pada umumnya jenazah mengekuarkan tinja. Penularan kuman bisa terjadi jika petugas tidak mencuci tangan dengan sabun secara bersih. Mayat yang mencemari sumber air juga bisa menyebabkan infeksi pencernaan.
b.             Kondisi tempat pengungsian
Terbatasnya tempat pengungsian terutama dalam hal daya tampung korban, menjadikan banyaknya orang berkumpul dipenampungan, keadaan yang lelah, stress ditambah cuaca dingin, berangin, dan hujan akan memudahkan terjadinya wabah infeksi saluran pernapasan, mulai dari pilek, bronchitis, sampai pneumonia (radang paru). Masalah tuberkolusis juga bisa bertambah dalam jumlah dan keparahan.
c.              Sanitasi air
Adanya genangan air dan kotoran sisa bencana serta kekurangan pasokan air bersih merupakan beberapa pencemaran air yang terjadi pasca bencana tsunami. Selain itu menurunnya kualitas kebersihan akan menimbulkan berbagai penyakit kulit.
Menurut salah satu pengajar di Department Kedokteran Komunitas FKUI, gelombang laut yang membanjiri dan menyapu berbagai kotoran berpotensi mencemari sumber air bersih. Karena itu, perlu diwaspadai penyakit yang ditimbulkanoleh tercemarnya air (waterborne disease), seperti diare atau muntaber dan kolera.
d.             Pencemaran makanan dan minuman
Menurut sebuah artikel mengenai dampak tsunami terhadap hygiene sanitasi makanan dan air, terbitan media Media Litbang Kesehatan. Terdapat laporan Kejadian Luar Biasa (KLB), kasus keracunan makanan diderah Tanah Pasir yang menyebabkan 274 penderita mengalami keracunan makanan. Jumlah penderita yang dirawat sebanyak 38 orang dengan tanda-tanda pusing, dan muntah. Dari hasil penelitian dampak tsunami terhadap higiene dan sanitasi tempat pengolahan makanan di beberapa Barak pengungsi Nanggroe Aceh Darussalam antara lain, 166 spesimen diperiksa ternyata 35,5% terkontaminasi kuman pathogen. Perilaku penjamah 55,1% belum melakukan higiene sanitasi dengan benar, kemungkinan disebabkan kondisi rumah/tempat tinggal (barok) masih dalam keadaan darurat. kondisi barak satu dengan barak lain hanya dibatasi oleh dinding, 5-12 keluarga menggunakan dapur bersama-sama, sehingga kemungkinan terjadi pertukaran/pinjam meminjam alat masak. Kemudian dari hasil pemeriksa laboratorium, penyebab keracunan makanan tersebut adalah kuman Staphylococcus aureus dan keracunan zat kimia nitrit.[2]
Terjadinya keracunan dapat disebabkan oleh tercemarnya air yang digunakan untuk mengolah ataupun mencuci bahan dan peralatan makanan/masak atau oleh faktor lain, seperti sarana dan prasarana tempat pengolahan makanan, pemilihan bahan, serta cara penyajian yang tidak higienis.
Gambar 2. Gangguan Kesehatan Lingkungan( Penyebab Polusi Dan Penyakit Pascabencana)Description: scan H.62
2.3  Upaya penanggulangan dan pencegahan permasalahan kesehatan pasca tsunami
a.              Penanganan jenazah
Petugas yang menangani jenazah harus memerhatikan pencegahan universal untuk menghindari tertular penyakit dari darah dan cairan tubuh ataupun faktor lain-lain. Pengurus jenazah sebaiknya menggunakan alat pelindung diri, seperti baju pelindung, sarung tangan, sepatu bot, topi, masker dan lainnya. Untuk menghindari ancaman tertular hepatitis A, B, C, para petugas perlu mendapat vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Setelah mengurus maupun mengubur jenazah serta sebelum makan, petugas perlu mencuci tangan dengan sabun. Peralatan seperti usungan mayat dan kendaraan harus dibersihkan dan diberi disinfektan secara rutin.
Menurut panduan teknis WHO mengenai penanganan jenazah setelah bencana, bahwa syarat lokasi pemakaman sedikitnya 30 meter dari sumber air minum dan dasar kuburan 1,5 meter di atas permukaan air tanah.


b.             Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih
  Dengan demikian, masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit.
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang sudah memenuhi persyaratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan:
·         buang atau singkirkan bahan pencemar;
·         lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang ada cukup tinggi;
·         lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan bahan desinfektan untuk air;
·         periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM;
·         lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titiktitik distribusi.
Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah timbulnya risiko kesehatan akibat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan. Bilamana air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis dapat dilakukan upaya perbaikan kualitas air antara lain sebagai berikut:
·                Penjernihan air cepat, menggunakan:
1)        Alumunium sulfat (tawas)
Cara penggunaan:
o   sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember 20 liter;
o   tuangkan/campuran tawas yang sudah digerus sebanyak ½ sendok teh dan langsung diaduk perlahan selama 5 menit sampai larutan merata;
o   diamkan selama 10–20 menit sampai terbentuk gumpalan/flok dari kotoran/lumpur dan biarkan mengendap. pisahkan bagian air yang jernih yang berada di atas endapan, atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan;
o   bila akan digunakan untuk air minum agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih atau didesinfeksi dengan aquatabs.
2)        Poly Alumunium Chlorida (PAC)
Lazim disebut penjernih air cepat yaitu polimer dari garam alumunium chloride yang dipergunakan sebagai koagulan dalam proses penjernihan air sebagai pengganti alumunium sulfat. Kemasan PAC terdiri dari:
a)      Cairan yaitu koagulan yang berfungsi untuk menggumpalkan kotoran/ lumpur yang ada di dalam air;
b)      Bubuk putih yaitu kapur yang berfungsi untuk menetralisir pH.

Cara penggunaan:
·         sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember sebanyak 100 liter;
·         bila air baku tersebut ph nya rendah (asam), tuangkan kapur (kantung bubuk putih) terlebih dahulu agar ph air tersebut menjadi netral (pH=7). bila ph air baku sudah netral tidak perlu digunakan lagi kapur;
·         tuangkan larutan pac (kantung a) kedalam ember yang berisi air lalu aduk perlahan lahan selama 5 menit sampai larutan tersebut merata;
·         setelah diaduk merata biarkan selama 5 – 10 menit sampai terbentuk gumpalan/flok flok dari kotoran/lumpur dan mengendap. pisahkan air yang jernih dari endapan atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan;
·         bila akan digunakan sebagai air minm agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih atau di desinfeksi dengan aquatabs.
c.          Pengendalian kesehatan lingkungan pengungsian
Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. Pengendalian vektor penyakit menjadi prioritas dalam upaya pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan penyakit sangat besar seperti lalat, nyamuk, tikus, dan serangga lainnya. Kegiatan pengendalian vektor dapat berupa penyemprotan, biological control, pemberantasan sarang nyamuk, dan perbaikan lingkungan.
Banyaknya tendatenda darurat tempat penampungan sementara para pengungsi yang diperkirakan belum dilengkapi dengan berbagai fasilitas sanitasi dasar yang sangat diperlukan, akibatnya banyak kotoran dan sampah yang tidak tertangani dengan baik dan akan menciptakan breeding site terutama untuk lalat dan serangga pangganggu lain. Hal ini akan menambah faktor resiko terjadinya penularan berbagai penyakit.
Metode pengendalian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)      Pengendalian lingkungan: breeding mengubah situs dengan mengeringkan atau mengisi situs, pembuangan sampah secara teratur, menjaga tempat penampungan bersih, dan kebersihan.
b)      Pengendalian secara mekanis: menggunakan bednets, perangkap, penutup makanan
c)      Pengendalian biologis: menggunakan organisme hidup untuk pengendalian larva, seperti ikan yang makan larva (misalnya, nila, ikan mas, guppies), Bakteri (bacillus thuringiensis israelensis) yang menghasilkan racun terhadap larva dan Pakis mengambang bebas yang mencegah pembiakan, dan lainlain

d.             Pengawasan dan pengamanan makanan dan minuman
Dalam pengelolaan makanan dan minuman pada bencana (untuk konsumsi orang banyak), harus memperhatikan kaedah hygiene sanitasi makanan dan minuman (HSMM), untuk menghindari terjadinya penyakit bawaan makanan termasuk diare, disentri, korela, hepatitis A dan tifoid, atau keracunan makanan dan minuman, berdasarkan pedoman WHO Ensuring food safety in the aftermath of natural disasters antara lain yaitu:
1)        semua bahan makanan dan makanan yang akan didistribusikan harus sesuai untuk konsumsi manusia baik dari segi gizi dan budaya;
2)        makanan yang akan didistribusikan sebaiknya dalam bentuk kering dan penerima mengetahui cara menyiapkan makanan;
3)        stok harus dicek secara teratur dan pisahkan stok yang rusak;
4)        petugas yang menyiapkan makanan harus terlatih dalam higiene dan prinsip menyiapkan makanan secara aman;
5)        petugas yang menyiapkan makanan sebaiknya tidak sedang sakit dengan gejala berikut : sakit kuning, diare, muntah, demam, nyeri tenggorok (dengan demam), lesi kulit terinfeksi atau keluarnya discharge dari telinga, mata atau hidung;
6)         petugas kebersihan harus terlatih dalam menjaga dapur umum dan area sekitarnya tetap bersih;
7)        air dan sabun disediakan untuk kebersihan personal;
8)        makanan harus disimpan dalam wadah yang melindungi dari tikus, serangga atau hewan lainnya;
9)        daerah yang terkena banjir, makanan yang masih utuh harus dipindahkan ke tempat kering;
10)    buanglah makanan kaleng yang rusak, atau bocor;
11)    periksa semua makanan kering dari kerusakan fisik, tumbuhnya jamur dari sayuran, buah dan sereal kering;
12)    air bersih untuk menyiapkan makanan; dan
13)    sarana cuci tangan dan alat makan harus disiapkan.
Sebagai tambahan, WHO juga mengeluarkan panduan kunci keamanan pangan (WHO Five Keys for Safer Food) :
1)        jaga kebersihan makanan;
2)        pisahkan bahan mentah dan makanan yang sudah dimasak;
3)        masak secara menyeluruh;
4)        aga makanan pada suhu aman;
5)        gunakan air dan bahan mentah makanan yang aman.
Termasuk dalam hygiene dan sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat, dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
2.4  Perencanaan NAD pasca tsunami
Untuk mengurangi dan meredam timbulnya korban dan kerugian harta benda akibat proses geologi yang tidak berhenti tersebut, perlu dilakukan mitigasi. Upaya mitigasi itu antara lain menyiapkan data dan informasi daerah rawan gempa dan tsunami, pemerintah menata daerah rentan tinggi dengan menata ulang lokasi, menyosialisasi pemahaman dan bencana gempa dan tsunami, masyarakat perlu menyadari bahwa mereka bertempat tingal di derah rentan bencana, memehami aktivitas apa yang harus dihindarkan sesuai dengan sifat serta jenis bencana tersebut, dan mengetahui cara menyelamatkan diri,
Beberapa dosen dari Institut Teknologi Bandung dari departemen Teknik Geologi, yaitu Deny Juanda, Budi Brahmantyo, dan Bandono, serta dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, yaitu Johny Patta dan Andi Oetomo, rabu (5/1) di gedung Rektorat ITB, menyampaikan sejumlah usulan dan pemikiran yang bisa dilakukan pemerintah serta semua pihak untuk membangun kembali Banda Aceh.
Budi mengatakan, Aceh merupakan daratan yang datar dengan tanah alluvial yang terbentuk karena endapan. Derah yang datar menjadikannya ideal unuk dijadikannya ibu kota karena daerah datar sangat baik untuk dibangun dan diakses diwilayah lain cenderung terbuka. Namun, Banda Aceh juga rawan bencana. Selain itu, menurut Deny, Aceh diapit dua patahan. Kedua daerah patahan lebih tinggi dari Aceh. Sehingga menjadi faktor penyebab wilayah ini rawan gempa dan rawan tsunami karena terdapat pantai.
Dengan demikian, apabila Aceh dibangun kembali seharusnya dirancang sebagai kota yang multi bahaya. Perencanaan kota harus dirancang sebagai alat mitigasi atau alat memperkecil dampak bencana. Tata ruang yang baik membentu memperkecil jumlah korban saat bencana terjadi dimasa mendatang.
·                Kontruksi tahan gempa
Bilamana melihat ke negara Jepang yang sering dilanda gempa, fondasi rumah penduduknya disesuaikan dengan kondisi alam sekitarnya. Pada umumnya rumah-rumah disana terdiri dari bahan kayu dan kertas. Bentuj mejanya dibuat rendah sampai mendekati lantai sehingga tidak memerlukan kursi. Lemarinya pun kebanyakan menyatu dengan dinding dengan penutup yang dapat digeser. Penerapan desain rumah serta isinya tersebut dibentuk sedemikian rupa agar bila terjadi gempa, baik bahan bangunan maupun furniturnya sedapat mungkin tidak mencederai penghuni rumah.
Indonesia pun sebenernya merupakan negara dengan berbagai intensitas genpa menengah sampai tinggi sehingga rancangan bangunan sepatutnya memperhitungkan kemunginan itu. Menurut Dr. Ir Iwayan Sengara, dosen Departemen Teknik Sipil ITB, sebenarnya ada peraturan yang membahas rancang bangun tahan gempa. Rancangan bangun sesuai ketentuan yang dirumuskan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Peraturan Bangunan Tahan Gempa yang ditetapkan tahun 2002. Namun, peraturan ini relative baru sehngga sosialisasinya masih terbatas.
·                Penggalakkan penanaman Bakau
Daerah yang mengalami bencana terbesar dari tsunami adalah Banda Aceh, Lhok Nga, dan Meulabboh. Bencana tersebut selain diakibatkan oleh tingginya gelombang tsunami, juga di perparah oleh tata ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat pantai. Tidak ada sabuk hijau (green belt).  Mangrove hanya tinggal sedikit yang hanya tumbuh di beberapa tempat. Selain itu, ada beberapa fakta-fakta mengenai keadaan gelombang pasang yang menghantam Aceh. Pertama, gelombang tsunami akan semakin jauh masuk ke daratan jika kondisi pesisir miskin mangrove.
Kondisi gelombang bertolak pada wilayah pesisir dengan mangrove yang intensif. “ketebalan hutan mangrove sekitar 1200 meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer,” ujar widi. Kedua, gelombang tsunami semakin pendek masuk ke daratan pada lahan pesisir dengan kebun ekstensif dan masa bangunan bertingkat yang memenuhi persyaratan teknis bencana. Oleh karena itu, sudah saatnya digalakkan penanaman bakau di sepanjang pesisir daerah yang potensi terkena tsunami.
Hutan bakau memiliki perlindungan dan pengamanan kawasan pesisir yang sangat baik. Setiap gelombang pasang yang dating mampu diredakan melalui hutan yang lebat. Manfaat utama hutan mangrove di kawasan pesisir dan estuaria adalah untuk mencegah erosi, penahan ombak, penahan angin, perangkap sedimen dan penahan intrusi air asin dari laut. Sistem perakarannya dapat berperan sebagai perangkap sediment dan pemecah gelombang. Hal ini dapat terjadi apabila didukung oleh formasi hutan mangrove yang belum terganggu atau kondisinya masih alami. Kerapatan hutan mangrove yang cenderung menurun maka fungsinya sebagai peredam gelombang juga akan cenderung menurun (Tjardhana dan Purwanto, 1995).
Menurut Widi A Pratikto, Direktur Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, hutan bakau (mangrove) yang memiliki ketebalan 60 meter sampai 75 meter dari bibir pantai mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter.
“ Jika terjadi gelombang pasang setinggi 4,3 meter di suatu daerah yang memiliki hutan bakau dengan lebar 65 meter dari bibir pantai, hamparan bakau itu ternyata mampu menurunkan gelombang sehingga saat di bibir pantai, gelombang tsunami itu semakin pendek, yakni tersisa satu meter “, katanya.
Description: hutan bakau H.96Gambar 3. Hutan bakau Sebagai Peredam Ombak











A.                     Rencana tata ruang ramah bencana
Setelah pemulihan korban maupun pengobatan pasca bencana tsunami. Batulah sebaiknya dilakukan perencanaan rehabilitasi yang komprehensif dan terintegrasi. Artinya pemulihan itu bisa dimulai dari pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana restrukturisasi, dan perbaikan lingkungan. Maka dalam tahap rehabilitasi harus dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di kemudian hari sehingga dampaknya bisa diminimalkan.
Dalam upaya rehabilitasi diperlukan perencanan dengan mempertimbangkan faktor fisik maupun lingkungan. Faktor fisik yang perlu diperhatikan ialah stuktur bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan arah penjalaran gelimbang tsunami atau tegak lurus dengan pantai, hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang menghantam bangunan lebih kecil.
Upaya lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah dengan membuat tata ruang yang ramah bencana. Ditempat-tempat yang berpotensi terkena tsunami harus ditata ulang. Tempat-tempat perlindungan (shelter) perlu dibangun untuk evakuasi jika tsunami terjadi di pesisir yang penduduknya padat. Model bisa dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Pola Tata Ruang Rumah Bencana Tsunami

Gambar 4
 
Description: scan H.132
Dalam perencanaan wilayah pantai di NAD dan Sumut, sebaiknya memenuhi persyaratan rencana tata ruang yang telah diatur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup. Dalam UU itu disebutkan 200 meter dari garis pantai harus ditetapkan sebagai jalur hijau.
Pembangunan permukiman yang terlalu dekat dengan garis pantai harus dihindari. Untuk NAD misalnya, jarak tersebut disesuaikan dengan jarak jauh-dekatnya penetrasi tsunami ke arah barat. Daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan kembali dengan mangrove atau hutan pantai, sesuai dengan kawasan pesisirnya. Pantai yang tidak cocok ditanami hutan mangrove bisa dihijaukan dengan hutan pantai (waru dan cemara). Secara keseluruhan, fungsi pantai disajikan pada gambar 5.






Gambar 5. Fungsi Hutan Pantai Untuk Meredam Tsunami
Description: scan H.134-135
Kementrian Lingkungan Hidup menyiapkan desain lingkungan kota Banda Aceh. Desain itu akan dihadikan model ideal untuk membangun kota-kota pesisir agar terlindung dari hantaman gelombang tsunami dan lingkungannya tetap terjaga. Hal ini dikemukakan Menreg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar.
“ Kota Banda Aceh dan pemukiman pesisir lainnya yang terkena tsunami memang harus dibangun kembali. Ini kesempatan untuk menjadikan kota-kota itu lebih baik kondisi lingkungan hidupnya. Tetapi, penerapan tetap mengacu kepada keinginan orang-orang Aceh”  ujarnya.
Model pembangunan pemukiman pesisir tersebut, menurut Rachmat, dalam penerapan berdaya tangkal terhadap gelombang tsunami. Pemukiman akan digeser ke dalam sesuai geomorfologinya, sementara pesisir pantai ditanami mangrove sebagai penahanan ombak. “Selain buffer, aka nada green belt yang dapat digunakan sebagai ruang terbuka dan fasilitas umum” katanya.
Dia menambahkan bahwa rancangan pembangunan kembali Banda Aceh harus diawali dengan suatu desain yang memenuhi criteria lingkungan hidup. “ Jika tidak, akan terjebak kepada pembangunan yang nantinya tidak ramah lingkungan.






Gambar 6. Teknik Perancanaan Wilayah Dasar Dalam Proyek Pengurangan Risiko Tsunami
Description: scan H.138 proyek pengurangan risiko stunami














BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa  peristiwa besar yang dialami daerah Nanggro Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004 lalu, tetutama dalam permasalahan kesehatan. Permasalahan yang ada sangatlah beragam, seperti terganggunya kesehatan masyarakat Aceh maupun kesehatan lingkungan setelah terjadinya tsunami. Upaya penanggulanagan dan pencegahan permasalahan kesehatan pasca tsunami, yaitu penanganan jenazah yang baik, perbaikan dan pengawasan kualitas air bersih, pengendalian kesehatan lingkungan pengungsian, serta Pengawasan dan pengamanan makanan dan minuman.
Selain itu, Perencanaan NAD pasca tsunami sebagai upaya meminimalkan dampak pasca tsunami maupun bencana yang akan terjadi di masa mendatang. Misalnya penggalakkan hutan mangrove, kontruksi tahan gempa dan perencanaan yang lainnya.

B.                 Saran
Setelah pemulihan korban maupun pengobatan pasca bencana tsunami. Barulah sebaiknya dilakukan perencanaan rehabilitasi yang komprehensif dan terintegrasi. Artinya pemulihan itu bisa dimulai dari pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana restrukturisasi, dan perbaikan lingkungan. Maka dalam tahap rehabilitasi harus dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di kemudian hari sehingga dampaknya bisa diminimalkan.
Apabila Aceh dibangun kembali seharusnya dirancang sebagai kota yang multi bahaya. Perencanaan kota harus dirancang sebagai alat mitigasi atau alat memperkecil dampak bencana. Tata ruang yang baik membentu memperkecil jumlah korban saat bencana terjadi dimasa mendatang. Upaya lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah dengan membuat tata ruang yang ramah bencana.


DAFTAR PUSTAKA

Kompas Media Nusantara. 2005. Bencana Gempa Dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam & Sumatera Utara. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Kementrian Agama RI, 2012. Penciptaan Bumi Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta : Kementrian Agama RI
Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Kawasan Pesisir Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam, B I O D I V E R S I T A S, ISSN: 1412-033X, Volume 8, Nomor 4 Oktober 2007, Halaman: 262-265

Emergency_and_humanitarian_action_Technical_quide_for_Health_Crisis_Response_in_Disaster ( Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana)
www.unhabitat-indonesia.org Aceh Sanitation Assessment and Assistance Program (ASAAP)





  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar