Minggu, 20 November 2016

UPAYA PENYELESAIAN WANPRESTASI DEBITUR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. OTO MULTIARTHA CABANG PONTIANAK

UPAYA PENYELESAIAN WANPRESTASI DEBITUR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. OTO MULTIARTHA
CABANG PONTIANAK


S k r i p s i

O l e h :
BUDI SANJAYA
NIM. A1012131021

                                                                           

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK

2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
        Setiap manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya, sehingga dalam kehidupannya manusia akan selalu melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Di dalam melakukan kegiatan tersebut, masing-masing individu akan dihadapkan pada kebutuhan atau kepentingan yang berbeda-beda, yang mana untuk memenuhinya dapat dilakukan dengan jalan mengadakan hubungan dengan sesamanya.
        Dengan seiring berkembangnya manusia, segala cara dan upaya manusia di dalam kehidupan berusaha untuk mempermudah mendapatkan barang-barang kebutuhannya, berbagai upaya kemudahan yang diciptakan dengan cepat diserap dan diterapkan pula. Dalam salah satu upaya manusia sendiri adalah untuk menciptakan keteraturan dan keharmonisan di dalam meletakkan lalu lintas hukum terutama dalam melaksanakan perjanjian antar masyarakat.
        Perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bersifat terbuka, dan sering juga disebut menganut asas kebebasan berkontrak yang mengandung arti bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.    
        Salah satu bentuk perjanjian adalah perjanjian pembiayaan konsumen yang lahir dari pergaulan masyarakat berdasarkan asas kebebasan membuat perjanjian. Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan perjanjian di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang juga dikenal sebagai perjanjian tidak bernama (inominaat).
        Pembiayaan konsumen merupakan salah satu kegiatan usaha lembaga pembiayaan yang tumbuh dan berkembang sejak dengan dikeluarkannya pranata hukum berupa Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
        Dewasa ini keberadaan kegiatan pembiayaan konsumen menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Pesatnya pertumbuhan bisnis pembiayaan konsumen ini sekaligus menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang dengan cara mencicil seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat lapisan menengah ke bawah.
        Perjanjian pembiayaan konsumen (consumer finance agreement) lebih menekankan fungsi pembiayaan yaitu berkaitan penyediaan dana untuk pembelian barang dari penjual yang dibuat antara perusahaan pembiayaan atau kreditur dengan debitur atau penerima fasilitas pembiayaan dalam pembelian barang.
        Terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam transaksi pembiayaan konsumen yaitu perusahaan pembiayaan, konsumen, dan pemasok (supplier). Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pembelian barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran secara angsuran. Konsumen adalah pembeli barang yang dananya dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen. Sedangkan pemasok (supplier) adalah perusahaan yang menjual barang-barang yang dibutuhkan konsumen dalam rangka pembiayaan konsumen.  
        Terjadinya hubungan hukum antara perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen didahului dengan adanya perjanjian jual beli antara pemasok dengan konsumen dengan syarat bahwa pembayaran secara tunai atas harga barang akan dilakukan oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen.
        Selanjutnya berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen yang telah ditanda tangani antara perusahaan pembiayaan berkedudukan sebagai kreditur dengan konsumen berkedudukan sebagai debitur, secara yuridis para pihak terikat akan hak dan kewajiban masing-masing sehingga harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
        Pada prakteknya pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tidak terlepas dari berbagai hambatan dan masalah yang menyertainya, sehingga perusahaan pembiayaan harus menyiapkan berbagai upaya penyelesaian guna mengatasi masalah yang timbul, demikian juga PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak berkedudukan di Jalan Teuku Umar, Komplek Pertokoan Pontianak Mal Blok AA 50, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat merupakan perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha       bidang pembiayaan konsumen yang berfokus dalam pembiayaan kendaraan bermotor roda empat  untuk pembelian unit baru maupun bekas.
        Dalam pelaksanaan perjanjian, PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak banyak menghadapi berbagai hambatan dan masalah yang salah satunya yaitu kelalaian debitur membayar angsuran yang tentunya tidak diharapkan karena hal ini menyebabkan kerugian bagi kreditur sebagai pemberi fasilitas pembiayaan. Untuk itu, kreditur atau perusahaan pembiayaan perlu melakukan upaya atau tindakan guna menyelesaikan masalah wanprestasi yang dilakukan debitur dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan.  
        Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh pada perusahaan tersebut dengan mengkaji dan membahas lebih lanjut melalui penulisan karya skripsi yang berjudul :
“UPAYA PENYELESAIAN WANPRESTASI DEBITUR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. OTO MULTIARTHA CABANG PONTIANAK”.

B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan penulisan ini yakni “Bagaimana Upaya Yang Dilakukan Pihak PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak Terhadap Debitur Yang Wanprestasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen?”

C.        Tujuan Penelitian
       Dengan berdasarkan pokok permasalahan tersebut, adapun tujuan dalam penelitian ini antara lain:
1.      Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai perjanjian pembiayaan konsumen pada PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak.
2.      Untuk mengungkapkan faktor penyebab debitur melakukan wanprestasi.
3.      Untuk mengungkapkan akibat hukum debitur melakukan wanprestasi.
4.      Untuk menjelaskan upaya hukum pihak PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak terhadap debitur yang melakukan wanprestasi.

D.       Kerangka Pemikiran
1.       Tinjauan Pustaka
Secara yuridis ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata Buku III tentang Perikatan. Perjanjian merupakan sumber dari perikatan sebagaimana Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) maupun dari undang-undang.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian dapat dilihat dari rumusan Pasal 1313 KUHPerdata yang  menyatakan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[1]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin yaitu perbuatan dilapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.[2]
Selanjutnya M. Yahya Harahap memberikan definisi perjanjian atau verbintenis adalah “Suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan baik pada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”[3]
Perikatan yang lahir dari undang-undang terjadi karena adanya hubungan hukum dari suatu peristiwa tertentu yang menimbulkan hak dan kewajiban bukan berasal atau merupakan kehendak para pihak, akan tetapi telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan perikatan yang lahir dari perjanjian berasal dari hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban atas kemauan atau kehendak dari para pihak yang mengikatkan diri untuk membuat perjanjian.

Suatu perjanjian sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari empat syarat yaitu:
1.      sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.       suatu hal tertentu
4.      suatu sebab yang halal [4]
Dari keempat syarat pokok di atas dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) kelompok, antara lain sebagai berikut:
1.   Syarat subjektif yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subjek   perjanjian yang meliputi kesepakatan dan kecakapan bertindak. Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut.
a.       Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksud dari kata sepakat yaitu tercapainya persetujuan kehendak antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri atau persetujuan kehendak artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian harus mempunyai kemauan secara sukarela.
Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
        Kecakapan bertindak artinya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Berkaitan dengan hal ini yang dimaksud orang yang tidak cakap melakukan suatu perikatan adalah orang yang belum dewasa dan setiap orang yang di bawah pengampuan.
2.      Syarat objektif yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek perjanjian yang meliputi suatu perihal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi maka akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi hukum artinya bahwa dari semula tidak pernah ada suatu perjanjian atau suatu perikatan.
a.    Suatu hal tertentu
       Maksud dari suatu hal tertentu adalah objek perjanjian, pokok perjanjian, dan prestasi yang harus dipenuhi. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Selanjutnya dalam pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata merumuskan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Objek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan hak dan kewajiban kedua pihak dalam suatu perjanjian.
b.   Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi dan tujuan perjanjian. Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Jika suatu perjanjian tidak ada sebab atau dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian bertujuan memiliki suatu perikatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban untuk dapat dilaksanakan.  Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang memberikan kebebasan para pihak untuk membuat suatu perjanjian, menentukan persyaratan dan pelaksanaan serta bentuk perjanjian secara lisan atau tertulis.
Dasar perikatan hukum perjanjian yang dibuat secara sah diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dari rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, Subekti memberikan pendapatnya untuk memperjelas maksud dari ketentuan tersebut yaitu “Bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya maksudnya suatu perjanjian yang dibuat sah tidak bertentangan dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak”.[5]           
Salah satu bentuk perjanjian yaitu Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan perjanjian tidak bernama (inominaat) atau perjanjian di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berkembang dan banyak digunakan dalam kehidupan masyarakat.
Munir Fuady memberikan pengertian tentang perjanjian pembiayaan konsumen dengan mengatakan bahwa:
Hubungan antara kreditor dengan konsumen adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. Dalam hal ini pihak pemberi biaya sebagai kreditor dan pihak penerima biaya (konsumen) sebagai debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian barang konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi, hubungan kontraktual antara pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit.[6]
PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak adalah salah satu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha dibidang pembiayaan konsumen. Dalam Pasal 1 butir b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tetang Perusahaan Pembiayaan dijelaskan bahwa “Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka (2) Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, mengenai kegiatan usaha perusahaan pembiayaan dapat dilihat bahwa perusahaan pembiayaan adalah “Badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau Usaha Kartu Kredit”.
Pada dasarnya perjanjian pembiayaan konsumen merupakan dokumen hukum utama (main legal document) bagi perusahaan pembiayaan yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320  KUHPerdata sehingga perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat seperti diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata merumuskan:
Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.[7]

Pengertian perjanjian pembiayaan konsumen dapat dilihat dari pendapat yang dikemukan oleh Salim HS yang menyebutkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen adalah:
Kontrak atau perjanjian yang dibuat antara pemberi fasilitas dengan penerima fasilitas, dalam hal ini pemberi fasilitas menyediakan dana untuk membeli barang dari penjual barang, untuk digunakan oleh si penerima fasilitas, dan penerima fasilitas berkewajiban membayar pinjaman itu, baik berupa pokok dan bunga, sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak.[8]

Hubungan kontraktual dalam perjanjian pembiayaan merupakan hubungan timbal balik yang menimbulkan kewajiban yang  harus dipenuhi oleh kreditur maupun debitur. Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam suatu perjanjian yang telah disepakati.
Adapun bentuk-bentuk prestasi menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yaitu memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yakni apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban atau prestasinya yang telah disepakati bersama dalam perjanjian.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman menyatakan “Bahwa di dalam suatu wanprestasi atau ingkar janji suatu perikatan apabila debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjian maka dapat dikatakan bahwa debitur itu wanprestasi atau ingkar janji”.[9]
Lebih lanjut menurut Abdulkadir Muhammad beberapa hal dapat terjadi dan dikatakan melanggar suatu perjanjian atau wanprestasi yaitu apabila satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung jawabnya dan menolak melaksanakan kewajiban di pihaknya hal ini dapat terjadi pada waktu maupun sebelum pelaksanaan perjanjian, seseorang dapat menolak kewajibannya secara diam-diam dengan membuat dirinya sendiri tidak mampu melaksanakan kewajibannya, kemungkinan lain satu pihak hanya lalai melaksanakan satu atau beberapa dari banyak kewajibannya dalam perjanjian itu.[10]
Berdasarkan pengertian wanprestasi tersebut di atas, wanprestasi debitur dapat dirumuskan ke dalam empat macam yaitu:
a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.   Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.    Melakukan apa dijanjikannya tetapi terlambat;
d.   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.[11]
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai melalukan prestasi, dapat dikenakan sanksi hukum atau hukuman sebagai berikut:
1.      Perikatan tetap ada, artinya bahwa kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu kreditor berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditor akan mendapat keuntungan apabila debitor melaksanakan  prestasi tepat pada waktunya;
2.      Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata); 
3.      Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor wanprestasi kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditor. Oleh karena itu, debitor tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
4.      Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.[12]

Selanjutnya menurut Subekti bahwa ada empat macam akibat hukum bagi debitur yang lalai yaitu:
a.    Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
b.   Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c.    Peralihan resiko;
d.   Membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan hakim.[13]

Dengan berberapa akibat hukum dari wanprestasi tersebut, adapun upaya atau tindakan yang dilakukan jika salah satu pihak belum melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang disepakati maka pihak yang dirugikan dapat memperingatkan untuk berprestasi melalui teguran secara lisan maupun tertulis berupa surat peringatan atau somasi.
Menurut J. Satrio, somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi/teguran.[14]
Saat debitur berada dalam keadaaan lalai atau wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan
Berdasarkan rumusan Pasal 1238 KUHPerdata di atas, menurut  Mariam Darus Badrulzaman memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Pernyataan lalai (ingbrekestelling) adalah upaya hukum (rechtimiddel) dengan mana kreditur memberitahukan, menegur, memperingatkan (aanmaning, sommatie, kenningsgeving) debitur saat selambat-lambatnya ia wajib memenuhi prestasi dan apabila saat itu terlampaui, maka debitur telah lalai”[15]

Di samping upaya yang dapat dilakukan kreditur terhadap debitur yang wanpretasi agar memenuhi kewajiban dalam perjanjian, hak yang sama juga ada pada debitur untuk melakukan upaya atau pembelaan. Hak ini penting mengingat apabila debitur dinyatakan wanprestasi maka menimbulkan akibat hukum yang harus dipertanggung jawabkannya.
Oleh karena itu debitur dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri agar terbebas dari akibat hukum. Debitur dapat mengajukan beberapa macam alasan atau pembelaan yaitu:
a.    Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majure).
b.   Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus).
c.    Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.[16]

Sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga pembiayaan, pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan. Namun karena pembiayaan konsumen merupakan lembaga bisnis, maka kegiatan pembiayaan konsumen tidak bisa lepas dari unsur resiko. Oleh karena itu, dalam praktik perusahaan pembiayaan konsumen akan meminta jaminan tertentu guna mengamankan pembiayaan yang diberikan kepada konsumen.
Adapun beberapa jenis jaminan dalam perjanjian pembiayaan konsumen yaitu jaminan utama berupa jaminan kepercayaan, jaminan pokok berupa barang yang dibiayai secara fidusia, dan jaminan tambahan seperti pengakuan hutang dan kuasa menjual.[17]
Dalam pemberian fasilitas pembiayaan kendaraan bermotor roda empat pada PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak  dipersyaratkan jaminan pokok berupa kendaraan bermotor roda empat sebagai jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan. Jaminan secara fidusia artinya pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikan dialihkan tetap dalam tetap dalam pengawasan pemilik benda.[18]

2.         Kerangka Konsep
Meningkatkannya pertumbuhan ekonomi suatu negara membawa dampak meningkatnya kebutuhan hidup dari masyaratkat tersebut. Dalam era globalisasi ini semakin cepat mobilitas seseorang, maka akan semakin mampu orang tersebut memenuhi kehidupan hidupnya, dan kendaraan merupakan alat transportasi yang membantu manusia untuk mempercepat mobilitasnya. Akan tetapi tidak semua golongan masyarakat mampu untuk membeli kendaraan bermotor sesuai kebutuhannya secara tunai karena keterbatasan dana, sehingga untuk membantu penyediaan dana tersebut muncullah perusahaan pembiayaan sebagai alternatif sumber dana bagi masyarakat.
 PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak sebagai salah satu perusahaan pembiayaan dalam melakukan kegiatan pembiayaan berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen. Pembiayaan yang diberikan berupa fasilitas pinjaman dana kepada debitur untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat dari pemasok atau supplier.
Perjanjian pembiayaan konsumen berupa perjanjian baku yang telah disiapkan oleh perusahaan pembiayaan untuk calon debitur yang mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.      
Dalam pelaksanaannya, semakin berkembangnya kebutuhan pembiayaan konsumen seiringan semakin banyak pula permasalahan wanprestasi yang terjadi dalam hal pembayaran angsuran pada perusahaan pembiayaan. Wanprestasi merupakan suatu keadaan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Oleh karena itu, dalam menghadapi permasalahan tersebut, perusahaan pembiayaan dalam hal ini PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak perlu melakukan upaya untuk penyelamatan aset jaminan sehingga meminimalisasi kerugian, apabila debitur melakukan wanprestasi  dalam pembayaran angsuran.
Upaya atau tindakan penyelesaian yang dapat dilakukan kreditur terhadap debitur yang melakukan wanprestasi yaitu dengan cara musyarawah atau melakukan perundingan secara kekeluargaan dalam meminta pemenuhan pembayaran angsuran, memberikan teguran berupa surat peringatan, atau melakukan eksekusi jaminan fidusia dengan melakukan penarikan kendaraan bermotor roda empat, ataupun upaya mengajukan gugatan  ke pengadilan.

E.        Hipotesis
        Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu dalil yang belum menjadi dalil sesungguhnya oleh karena masih harus diuji atau dibuktikan kebenarannya dalam penelitian.
        Berdasarkan dari permasalahan yang akan diteliti, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: “Bahwa Upaya PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak Menyelesaikan Wanprestasi Debitur Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Kendaraan Roda Empat Dengan Pemberian Surat Peringatan Disertai Penarikan Unit Kendaraan”.

F.         Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penulis pada penelitian ini mengunakan jenis penelitian hukum empiris dengan pendekatan deskriptif analisis yaitu menggambarkan dan menganalisa keadaan dan realitas yang ada pada saat dilakukan penelitian sehingga dapat ditarik kesimpulan sehubungan dengan masalah yang diteliti.
2.      Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian hukum empiris ada 2 (dua) jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden maupun informan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan.
Maka untuk menghimpun data primer dan data sekunder, penulis menggunakan 2 (dua) bentuk penelitian yaitu:
a.          Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan yaitu kegiatan penelitian dengan mempelajari dan menghimpun berbagai literatur-literatur, buku-buku pendukung, peraturan perundang-undangan, pendapat para sarjana, serta bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian.
Penelitian Lapangan (Field Research)
b.      Penelitian lapangan yaitu suatu kegiatan penelitian lapangan yang dilakukan penulis secara langsung pada objek penelitian untuk mendapatkan dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian.
3.   Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian serta informasi yang akan diungkapkan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1.      Teknik Komunikasi Langsung
Teknik komunikasi langsung yaitu mengadakan kontak langsung untuk memperoleh data dengan melakukan wawancara atau tanya jawab secara langsung dengan respoden yaitu Pimpinan PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak.
2.      Teknik Komunikasi Tidak Langung
Teknik komunikasi tidak langsung yaitu mengadakan kontak tidak langsung terhadap sumber data respoden melalui angket atau kuisioner yang diberikan kepada debitur pada PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak yang telah ditentukan.
4.      Populasi dan Sampel Penelitian   
a.       Populasi
Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama.[19] Populasi merupakan keseluruhan dari objek pengamatan atau obyek penelitian. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu:
-       Pimpinan PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak.
-       Debitur yang mengalami wanprestasi dalam kurun waktu 6 bulan terakhir periode bulan April 2016 s/d bulan September 2016 yang berjumlah 680 orang.
b.      Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik random sampling atau sampel acak di mana setiap manusia atau unit memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi unsur dalam sampel. Mengenai penentuan sampel berdasarkan pendapat Ronny Hanitijo Soemitro yang menyatakan bahwa:
Pada prinsipnya tidak ada peraturan-peraturan yang secara ketat menentukan berapa persen sampel tersebut harus diambil dari populasi. Namun pada umumnya orang berpendapat bahwa sampel yang berlebihan itu lebih baik daripada kekurangan sampel (over sampling is always better than under sampling). Biasanya yang menentukan besar kecilnya sampel berdasarkan kebutuhan praktis saja. Misalnya mengingat faktor bimbingan, limit waktu yang diberikan, kemampuan fisik dan intelektual dari peneliti, ciri-ciri khas fenomena yang diteliti atau digarap, dan lain-lain.[20]

Maka penulis menentukan jumlah sampel dalam peneltian ini sebagai berikut:
-          Pimpinan PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak.
-          20 orang debitur (3% dari jumlah debitur yang wanprestasi sebanyak 680 orang).



[1] R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,  Pradnya Pramita, Jakarta, h. 338.
[2] Mariam Darus Badrulzaman, 2006,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, h. 89.
[3] M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 6.
[4] R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit. h. 339
[5] Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya    disingkat Subekti I), h. 139.
[6] Salim HS, 2015, Hukum Kontrak : Perjanjian, Pinjaman dan Hibah, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), h. 47.
[7] R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, h. 342.
[8] Salim HS I, loc.it.
[9] Mariam Darus Badrulzaman, 2006,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, h. 23.
[10] Abdulkadir Muhammad, 1986,  Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h.158 - h.159.
[11] Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa,  Jakarta,  (selanjutnya  disingkat        Subekti II) h. 45.
[12] Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS II),  h. 163.
[13] Subekti II, loc.cit
[14] Anonim, 2012, (Cite 2016, Sep. 25), available from URL: http:// www.hukum online. com /klinik/detail/cl483/apakah-somasi-itu
[15] Mariam Darus Badrulzaman, op.cit. h. 17.
[16] Subekti II, op.cit, h. 55.
            [17] Sunaryo,2014, Hukum Lembaga Pembiayaan, Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta, h.112
[18] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada           Jakarta. h. 128.
[19]  Soerjono Soekanto, 1986,  Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 172.

[20] Ronny Hanitijo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar