MAKALAH
Sejarah
Yang Dikaji Dalam Aspek Geografi
Di susun untuk memenuhi Tugas
Kelompok Mata Kuliah
Geografi Kesejarahan
Dosen : Ika Rahmatika Chalimi, M.Pd
Di Susun oleh :
1. EVI (F1231161013)
2. ABDUL ADZIM (F1231161029)
3. ERWAN DARMAWAN (F1231161038)
4. RINI PUSPITA SARI (F1231161022)
5. KARTIKA JANUARTI (F1231161017)
6. SUPRIADI (F1231161024)
7.ANGELIA OVI ADVENIATI (F1231161014)
JURUSAN
ILMU ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN
SEJARAH
PONTIANAK
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang telah
ditentukan. Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk membahas mengenai “Analisis
Kesalahan Bahasa Indonesia”
Untuk itu kami menyusun makalah ini
dengan harapan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami lagi tentang
demokrasi yang ada di Negara Indonesia ini untuk memperlancar proses
pembelajaran.
Namun demikian tentu saja dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan dan
pemilihan kata yang tepat. Dengan ini, kami memohon maaf jika dalam pembuatan makalah
ini banyak kekurangan.Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Wa’alaikumsalam Wr.Wb.
Pontianak, 19 Oktober
2016
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Halaman
Judul
..…………..….………………..…………………………………………….. i
Kata
Pengantar
..…………..….………………..……………………………………………. ii
Daftar
Isi .…………………..………….………………………...……….…………………. iii
Bab
I PENDAHULUAN ..…….…...………………………………………….…………. 1
A.
Latar Belakang ………………...…………………………………….……….... 1
B.
Rumusan Masalah ...……………...………………………………………….... 2
C. Tujuan
……….. .….…………..….……………………………………………. 2
Bab
II PEMBAHASAN
………………….....……………………..…………………….. 4
A.
Gempa Besar Pemicu
tsunami di NAD dan Sumut .…...……………...……….. 4
B.
Berbagai Permasalahan
pada kesehatan lingkungan pasca tsunami .…….…….
6
C.
Upaya Penanggulangan
dan Pencegahan Permasalahan Kesehatan ……………..8
D.
Perencanaan NAD Pasca
Tsunami ………….………..…………..……..…….. 12
Bab III PENUTUP ……………………………...........……………..……………...….…
18
A.
Kesimpulan
…………………………....……………………………….………. 18
Daftar
Pustaka
……………………………………...………………………………………. 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia
tidak mungkin terlepas dari adanya gempa bumi. Gempa dapat terjadi disemua
daerah. Beberapa lempeng bumi bertemu dan beradu atau berbenturan sejak dahulu,
di kepulauan Indonesia ini. Banyak tempat rawan akan gempa dan tsunami di
Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia secara geografis maupun
geologi merupakan negara kepulauan yang terletak pada empat lempeng tektonik
yang bertemuan, yaitu: lempeng Euroasia, Australia, Pasifik, dan Filipina.
Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami
yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara tanggal 26 Desember
2004 lalu sangatlah luar biasa. Hempasan ombak yang merasuk jauh ke pantai
menghancurkan daratan. Kota-kota yang terletak di sepanjang pantai Barat Aceh
dan Sumatra Utara, terutama dari Banda Aceh hingga Meulaboh, dibuat porak
poranda.
Peristiwa ini menyebabkan kerusakan yang
belum pernah dirasakan sebelumnya. Hampir 230,000 orang tewas — 160,000 di
Provinsi Aceh — kebanyakan mereka adalah wanita dan anak-anak[1].
Masyakarat terkoyak, mata pencaharian hilang, keluarga, sekolah dan fasilitas
kesehatan hilang terbawa arus besar. Selain itu, terdapat kerusakan skala besar
dan sumber daya yang besar pula. Sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama
dalam rehabilitasi daerah tersebut dan memulihkan dengan lebih baik. Tidak
hanya Indonesia yang mengalami kerusakan akibat gempa 8,9 skala richter dengan
episentrum di sekitar Meulaboh itu, tetapi juga negara-negara yang terletak di
teluk Banggali dan juga jauh hingga Benua Afrika.
Gempa bumi ini tergolong terbesar
keempat sepanjang sejarah. Efek dari gempa bumi dan tsunami ini bukan hanya
seketika, tetapi mendunia. Istilah tsunami begitu sering diungkapkan oleh
warga. Selain itu dampak buruk tsunami yang diakibatkan oleh gelombang yang
sangat dahsyat dengan ketinggian ketika masuk ke daratan bisa mencapai 15 meter
dan kecepatan bagai pesawat tempur.
Keadaan pesisir pantai pasca tsunami
mengalami kerusakan, sebagian besar vegetasi pelindung kawasan pesisir mati akibat
hantaman gelombang. Vegetasi yang mati meliputi hutan mangrove, hutan pantai
dan hutan hujan tropis dataran rendah. Akibatnya, hutan kawasan pesisir yang
rusak tersebut secara alami juga akan mengalami perubahan. Hal ini disebabkan
karena pusat terjadinya gempa berada di sekitar Samudera Hindia (Suryawan dan
Mahmud, 2005). Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagai peredam hempasan
gelombang.
Banyak orang menjadi sangat takut dengan
tsunami, seperti semua gempa yang terjadi segera dianggap dan dihubungkan
dengan akan terjadinya gelombang tsunami. Dari hal ini menjadi penting agar
segera melakukan kegiatan edukasi dan sosialisasi mengenai bencana alam yang
benar kepada masyarakat. Masyarakat dipersiapkan dan diwaspadai terhadap setiap
ancaman yang akan terjadi. Akan tetapi, sikap ini harus disertai dengan
pemahaman yang benar. Saatnya secara sadar diberikan pengajaran kepada seluruh
masyarakat tentang apa-apa yang harus dilakukan apabila terjadi bencana, karena
pemahaman yang keliru bukan hanya merugikan, tetapi dapat membahayakan diri
sendiri.
Bencana berlalu, namun masih menyisahkan
duka yang mendalam menyelimuti Indonesia. Banyaknya korban jiwa, yang telah
terindetifikasi maupun hanyut dilaut luas. Bukan hanya itu, kehancuran
sendi-sendi perekonomian di Aceh serta permasalan lingkungan yang sangat
kompleks. Upaya pemulihan meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya
rehabilitasi bertujuan mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang
serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik. Upaya rekonstruksi
bertujuan membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana
secara lebih baik.
1.2
Rumusan Masalah
Karya ilmiah ini akan
dibagi beberapa pokok masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas, yaitu:
·
Siklus tsunami
·
Kerusakan pasca tsunami
·
Upaya-upaya
penanggulangan pasca tsunami
·
Upaya perencanan tata
ruang pasca tsunami
1.3
Tujuan
Berdasarkan pada latar belakang, maka makalah ini
bertujuan untuk dapat memahami bagaimana siklus tsunami, bagaimana karusakan
pasca tsunami yang berdampak pada kesehatan lingkungan serta kesehatan korban.
Selain itu memberikan informasi upaya-upaya penanggulangan pasca tsunami dan
mengetahui upaya perencanan tata ruang pasca tsunami .
Dengan demikian kita sebagai warga negara Indonesia
dapat paham ataupun mengenal kriteria bencana dalam negaranya sendiri. Selain
itu, kita juga dapat menilai dan menganalisis bagaimana perkembangan serta
pengawasan akan bencana yang akan terjadi maupun yang telah terjadi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Gempa besar pemicu tsunami di NAD dan Sumut
Menurut
peta sejarah kegempaan Badan Meteorologi dan Geofisika, gempa berskala kecil
dan besar banyak melanda Indonesia, mulai dari Nusa Tenggara hingga Sumatera.
Pusat gempa sebagian besar di perairan yang relatif dekat dengan pulau-pulau
tersebut. Hal ini berhubungan dengan adanya pertemuan lempeng benua di dasar
laut, dan diketahui bahwa sebagai tempat bertemunya tiga lempeng benua terdapat
di bawah perairan Indonesia. tiga lempeng benua tersebut ialah, lempeng Hindia
atau Indo-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di utara, dan lempeng
Pasifik di timur.
Gempa
yang terjadi di perairan barat Nanggroe Aceh Darussalam, Nicobar, dan Andaman,
hari minggu 26 Desember lalu merupakan akibat dari interaksi lempeng
Indo-Astralia dan Eurasia. Gempa-gempa besar pada skala magnitudo 5,8 hingga
9,0 berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 kilimeter tergolong gempa dangkal,
namun telah menimbulkan gelombang tsunami yang menerjang wilayah pantai di Asia
Tenggara dan Asia Selatan, yang berada di sekitar tiga pusat gempa tersebut
Gempa
berskala besar, kata Dr.Prih Haryadi kepala Pusat Sistem Data dan Informasi
Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), menimbulkan patahan berdimensi
ratusan kilometer jaraknya dari pusat gempa hingga memicu gempa lain. Gempa di
Aceh menimbulkan dampak kegempaan hingga radius 200 kilometer. Diantaranya
memicu gempa di Kepulauan Nicobar di sebelah utara pusat gempa pada jarak 550
kilometer serta mengguncang Pulau Andaman.
Selain
menimbulkan getaran yang kuat, gempa kali ini juga menyebabkan timbulnya
deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi berupa penurunan permukaan dasar
laut tersebut mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami
di pantai. Daerah yang rawan tsunami adalah daerah yang berpantai landai dan
berupa teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang terperangkap hingga naik ke
darat.
Ancaman
gempa tsunami berada sepanjang pertemuan lempeng mulai dari timur kepulauan
Maluku, selatan Nusa Tenggara dan Jawa, hingga barat Sumatera. Umumnya, gempa
subduksi di laut yang berkekuatan minimal 6,2 pada skala Richter sudah dapat
menimbulkan gelombang tsunami. Namun, yang lebih kecil dari itupun dapat
menimbulkan gelombang pasang, bergantung pada lokasinya dan pola subduksi serta
topografi dasar laut.
Gempa
di Meulaboh dilaporkan bukan saja telah menimbulkan tsunami di daerah barat
NAD, tetapi juga menerjang pulau Sabang. Gempa di Nicobar yang berkekuatan 7,3
skala Richter ini yang dipicu oleh gempa meulaboh, dan gempa tersebut pula
menyebabkan timbulnya tsunami di Songla dan Phuket (Thailand),menurut perkiraan
Dr.Prih.
Menurut
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Dr. Heri Haryono, gempa yang
posisinya di dekat Pulau Simeulue (NAD) itu terjadi karena mekanisme kompresi
atau subduksi, yaitu lempeng Samudra Hindia menujam bagian bawah lempeng Asia
Tenggara (yang merupakan subduksi lempeng Benua Eurasia). Karena hal yang
terjadi adalah gempa subduksi, yang menyebabkan menunnya permukaan dasar laut
di tempat pertemuan lempeng tersebut, maka akan timbul gelombang laut yang
merambat dan menerjang pantai di dekatnya.
Sebelum
penurunan permukaan dasar laut, terjadi pecahnya batuan dibawah lempeng benua
yang tidak kuat menahan subduksi lempeng dan terjadi pergeseran. Dengan adanya
pergeseran, tiba-tiba menimbulkan guncangan tanah (gempa bumi) disertai
pelentingan batuan, terjadi di bawah pulau dan dasar laut. Hal ini
menggoyangkan air laut hingga menimbulkan gelombang laut yang lebih akrab
disebut sebagai tsunami. Tsunami biasanya ditandai dengan air laut yang surut
setelah gempa bumi. Beberapa menit setelah pantai surut terjadilah gelombang
membalik yang sangat besar.
Gambar
1 Proses Terjadinya Gempa Dan Stunami
2.2 Berbagai permasalah
pada kesehatan lingkungan pasca tsunami
Peristiwa besar yang dialami daerah
Nanggro Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004 lalu, tetutama dalam
permasalahan kesehatan. Permasalahan yang ada sangatlah beragam, seperti
terganggunya kesehatan masyarakat Aceh maupun kesehatan lingkungan setelah
terjadinya tsunami. Dalam hal ini akan lebih banyak pembahasan mengenai
kesehatan lingkungan, karena faktor penyebab yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan korban ialah adanya gangguan lingkungan yang diakibatkan oleh
gelombang besar tsunami. Selain itu, lingkungan sekitar harus segera di
perbaikan darurat (sementara) untuk pengungsian, pelayanan kesehatan maupun
kegiatan lainnya yang dibutuhkan bagi para korban.
Gangguan
kesehatan lingkungan serta dampaknya.
a.
Jenazah dan bangkai hewan
Menurut
buku terbitan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), Environmental Health in Emergencies and Disaster: a Practical Guide,
menggungkapkan bahwa jenazah umumnya tidak menimbulkan gangguan kesehatan
serius, kecuali jika mencemari sumber air minum dengan tinja atau terinfeksi
oleh tifus atau pes yang bisa disebarkan lalat atau kutu
Jenazah
tidak menimbulkan ancaman kesehatan jika ditangani secara benar, dikarenakan
kuman penyakit tidak bertahan lama dalam tubuh manusia yang telah mati, kecuali
HIV yang bisa bertahan sampai enam hari. Selain itu, petugas yang menangani
jenazah berisiko tertulartuberkulosis, penyakit yang menular lewat darah
(hepatitis B dan C serta HIV) serta infeksi pencernaan. Tuberkilosis bisa
menular melalui udara jika kuman terbang ke udara dari sisa udara di paru
jenazah, paparan penyakit melalui darah terjadi jika ada kontak langsung dengan
cairan tubuh atau darah korban.
Sedangkan
infeksi pencernaan terjadi karena pada umumnya jenazah mengekuarkan tinja.
Penularan kuman bisa terjadi jika petugas tidak mencuci tangan dengan sabun
secara bersih. Mayat yang mencemari sumber air juga bisa menyebabkan infeksi
pencernaan.
b.
Kondisi tempat
pengungsian
Terbatasnya tempat pengungsian terutama
dalam hal daya tampung korban, menjadikan banyaknya orang berkumpul
dipenampungan, keadaan yang lelah, stress ditambah cuaca dingin, berangin, dan
hujan akan memudahkan terjadinya wabah infeksi saluran pernapasan, mulai dari
pilek, bronchitis, sampai pneumonia (radang paru). Masalah tuberkolusis juga bisa
bertambah dalam jumlah dan keparahan.
c.
Sanitasi air
Adanya
genangan air dan kotoran sisa bencana serta kekurangan pasokan air bersih
merupakan beberapa pencemaran air yang terjadi pasca bencana tsunami. Selain
itu menurunnya kualitas kebersihan akan menimbulkan berbagai penyakit kulit.
Menurut salah satu pengajar di
Department Kedokteran Komunitas FKUI, gelombang laut yang membanjiri dan
menyapu berbagai kotoran berpotensi mencemari sumber air bersih. Karena itu,
perlu diwaspadai penyakit yang ditimbulkanoleh tercemarnya air (waterborne disease), seperti diare atau
muntaber dan kolera.
d.
Pencemaran makanan dan
minuman
Menurut
sebuah artikel mengenai dampak tsunami terhadap hygiene sanitasi makanan dan
air, terbitan media Media Litbang
Kesehatan. Terdapat laporan Kejadian Luar Biasa (KLB), kasus keracunan
makanan diderah Tanah Pasir yang menyebabkan 274 penderita mengalami keracunan
makanan. Jumlah penderita yang dirawat sebanyak 38 orang dengan tanda-tanda
pusing, dan muntah. Dari hasil
penelitian dampak tsunami terhadap higiene dan sanitasi tempat pengolahan
makanan di beberapa Barak pengungsi Nanggroe Aceh Darussalam antara lain, 166
spesimen diperiksa ternyata 35,5% terkontaminasi kuman pathogen. Perilaku
penjamah 55,1% belum melakukan higiene sanitasi dengan benar, kemungkinan
disebabkan kondisi rumah/tempat tinggal (barok) masih dalam keadaan darurat.
kondisi barak satu dengan barak lain hanya dibatasi oleh dinding, 5-12 keluarga
menggunakan dapur bersama-sama, sehingga kemungkinan terjadi pertukaran/pinjam
meminjam alat masak. Kemudian dari hasil pemeriksa laboratorium,
penyebab keracunan makanan tersebut adalah kuman Staphylococcus aureus dan
keracunan zat kimia nitrit.[2]
Terjadinya
keracunan dapat disebabkan oleh tercemarnya air yang digunakan untuk mengolah
ataupun mencuci bahan dan peralatan makanan/masak atau oleh faktor lain,
seperti sarana dan prasarana tempat pengolahan makanan, pemilihan bahan, serta
cara penyajian yang tidak higienis.
Gambar
2. Gangguan Kesehatan Lingkungan( Penyebab Polusi Dan Penyakit Pascabencana)
2.3
Upaya
penanggulangan dan pencegahan permasalahan kesehatan pasca tsunami
a.
Penanganan jenazah
Petugas
yang menangani jenazah harus memerhatikan pencegahan universal untuk
menghindari tertular penyakit dari darah dan cairan tubuh ataupun faktor
lain-lain. Pengurus jenazah sebaiknya menggunakan alat pelindung diri, seperti
baju pelindung, sarung tangan, sepatu bot, topi, masker dan lainnya. Untuk
menghindari ancaman tertular hepatitis A, B, C, para petugas perlu mendapat
vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Setelah mengurus maupun mengubur jenazah
serta sebelum makan, petugas perlu mencuci tangan dengan sabun. Peralatan
seperti usungan mayat dan kendaraan harus dibersihkan dan diberi disinfektan
secara rutin.
Menurut panduan teknis
WHO mengenai penanganan jenazah setelah bencana, bahwa syarat lokasi pemakaman
sedikitnya 30 meter dari sumber air minum dan dasar kuburan 1,5 meter di atas
permukaan air tanah.
b.
Perbaikan dan
Pengawasan Kualitas Air Bersih
Dengan demikian, masyarakat pengungsi harus
dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih yang memadai untuk memelihara
kesehatannya. Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan
air bersih perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat
berpengaruh terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya penularan
penyakit.
Pada situasi bencana
dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang sudah memenuhi
persyaratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat,
baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan:
·
buang atau singkirkan
bahan pencemar;
·
lakukan penjernihan air
secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang ada cukup tinggi;
·
lakukan desinfeksi
terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan bahan desinfektan untuk air;
·
periksa kadar sisa klor
bilamana air dikirim dari PDAM;
·
lakukan pemeriksaan
kualitas air secara berkala pada titik‐titik distribusi.
Tujuan
utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah timbulnya
risiko kesehatan akibat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan.
Bilamana air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun
bakteriologis dapat dilakukan upaya perbaikan kualitas air antara lain sebagai
berikut:
·
Penjernihan air cepat,
menggunakan:
1)
Alumunium sulfat (tawas)
Cara penggunaan:
o sediakan
air baku yang akan dijernihkan dalam ember 20 liter;
o tuangkan/campuran
tawas yang sudah digerus sebanyak ½ sendok teh dan langsung diaduk perlahan
selama 5 menit sampai larutan merata;
o diamkan
selama 10–20 menit sampai terbentuk gumpalan/flok dari kotoran/lumpur dan
biarkan mengendap. pisahkan bagian air yang jernih yang berada di atas endapan,
atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan;
o bila
akan digunakan untuk air minum agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih
atau didesinfeksi dengan aquatabs.
2)
Poly Alumunium Chlorida (PAC)
Lazim
disebut penjernih air cepat yaitu polimer dari garam alumunium chloride yang
dipergunakan sebagai koagulan dalam proses penjernihan air sebagai pengganti
alumunium sulfat. Kemasan PAC terdiri dari:
a) Cairan
yaitu koagulan yang berfungsi untuk menggumpalkan kotoran/ lumpur yang ada di
dalam air;
b) Bubuk
putih yaitu kapur yang berfungsi untuk menetralisir pH.
Cara
penggunaan:
·
sediakan air baku yang
akan dijernihkan dalam ember sebanyak 100 liter;
·
bila air baku tersebut
ph nya rendah (asam), tuangkan kapur (kantung bubuk putih) terlebih dahulu agar
ph air tersebut menjadi netral (pH=7). bila ph air baku sudah netral tidak
perlu digunakan lagi kapur;
·
tuangkan larutan pac
(kantung a) kedalam ember yang berisi air lalu aduk perlahan lahan selama 5
menit sampai larutan tersebut merata;
·
setelah diaduk merata
biarkan selama 5 – 10 menit sampai terbentuk gumpalan/flok flok dari
kotoran/lumpur dan mengendap. pisahkan air yang jernih dari endapan atau
gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan;
·
bila akan digunakan
sebagai air minm agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih atau di
desinfeksi dengan aquatabs.
c.
Pengendalian kesehatan lingkungan pengungsian
Pelaksanaan
pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah
pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan
makanan dan minuman. Pengendalian vektor penyakit menjadi prioritas dalam upaya
pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan penyakit sangat besar
seperti lalat, nyamuk, tikus, dan serangga lainnya. Kegiatan pengendalian
vektor dapat berupa penyemprotan, biological control, pemberantasan
sarang nyamuk, dan perbaikan lingkungan.
Banyaknya
tenda‐tenda darurat tempat penampungan
sementara para pengungsi yang diperkirakan belum dilengkapi dengan berbagai
fasilitas sanitasi dasar yang sangat diperlukan, akibatnya banyak kotoran dan
sampah yang tidak tertangani dengan baik dan akan menciptakan breeding site
terutama untuk lalat dan serangga pangganggu lain. Hal ini akan menambah faktor
resiko terjadinya penularan berbagai penyakit.
Metode pengendalian dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Pengendalian
lingkungan: breeding mengubah situs dengan mengeringkan atau mengisi
situs, pembuangan sampah secara teratur, menjaga tempat penampungan bersih, dan
kebersihan.
b)
Pengendalian secara
mekanis: menggunakan bednets, perangkap, penutup makanan
c)
Pengendalian biologis:
menggunakan organisme hidup untuk pengendalian larva, seperti ikan yang makan
larva (misalnya, nila, ikan mas, guppies), Bakteri (bacillus thuringiensis
israelensis) yang menghasilkan racun terhadap larva dan Pakis mengambang
bebas yang mencegah pembiakan, dan lain‐lain
d.
Pengawasan dan
pengamanan makanan dan minuman
Dalam
pengelolaan makanan dan minuman pada bencana (untuk konsumsi orang banyak),
harus memperhatikan kaedah hygiene sanitasi makanan dan minuman (HSMM), untuk
menghindari terjadinya penyakit bawaan makanan termasuk diare, disentri,
korela, hepatitis A dan tifoid, atau keracunan makanan dan minuman, berdasarkan
pedoman WHO Ensuring food safety in the aftermath of natural disasters antara
lain yaitu:
1)
semua bahan makanan dan
makanan yang akan didistribusikan harus sesuai untuk konsumsi manusia baik dari
segi gizi dan budaya;
2)
makanan yang akan
didistribusikan sebaiknya dalam bentuk kering dan penerima mengetahui cara
menyiapkan makanan;
3)
stok harus dicek secara
teratur dan pisahkan stok yang rusak;
4)
petugas yang menyiapkan
makanan harus terlatih dalam higiene dan prinsip menyiapkan makanan secara
aman;
5)
petugas yang menyiapkan
makanan sebaiknya tidak sedang sakit dengan gejala berikut : sakit kuning,
diare, muntah, demam, nyeri tenggorok (dengan demam), lesi kulit terinfeksi
atau keluarnya discharge dari telinga, mata atau hidung;
6)
petugas kebersihan harus terlatih dalam
menjaga dapur umum dan area sekitarnya tetap bersih;
7)
air dan sabun
disediakan untuk kebersihan personal;
8)
makanan harus disimpan
dalam wadah yang melindungi dari tikus, serangga atau hewan lainnya;
9)
daerah yang terkena
banjir, makanan yang masih utuh harus dipindahkan ke tempat kering;
10) buanglah
makanan kaleng yang rusak, atau bocor;
11) periksa
semua makanan kering dari kerusakan fisik, tumbuhnya jamur dari sayuran, buah
dan sereal kering;
12) air
bersih untuk menyiapkan makanan; dan
13) sarana
cuci tangan dan alat makan harus disiapkan.
Sebagai
tambahan, WHO juga mengeluarkan panduan kunci keamanan pangan (WHO Five Keys
for Safer Food) :
1)
jaga kebersihan
makanan;
2)
pisahkan bahan mentah
dan makanan yang sudah dimasak;
3)
masak secara
menyeluruh;
4)
aga makanan pada suhu
aman;
5)
gunakan air dan bahan
mentah makanan yang aman.
Termasuk
dalam hygiene dan sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor
makanan, orang, tempat, dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
2.4
Perencanaan
NAD pasca tsunami
Untuk
mengurangi dan meredam timbulnya korban dan kerugian harta benda akibat proses
geologi yang tidak berhenti tersebut, perlu dilakukan mitigasi. Upaya mitigasi
itu antara lain menyiapkan data dan informasi daerah rawan gempa dan tsunami,
pemerintah menata daerah rentan tinggi dengan menata ulang lokasi,
menyosialisasi pemahaman dan bencana gempa dan tsunami, masyarakat perlu
menyadari bahwa mereka bertempat tingal di derah rentan bencana, memehami
aktivitas apa yang harus dihindarkan sesuai dengan sifat serta jenis bencana
tersebut, dan mengetahui cara menyelamatkan diri,
Beberapa
dosen dari Institut Teknologi Bandung dari departemen Teknik Geologi, yaitu
Deny Juanda, Budi Brahmantyo, dan Bandono, serta dari Departemen Perencanaan
Wilayah dan Kota, yaitu Johny Patta dan Andi Oetomo, rabu (5/1) di gedung
Rektorat ITB, menyampaikan sejumlah usulan dan pemikiran yang bisa dilakukan
pemerintah serta semua pihak untuk membangun kembali Banda Aceh.
Budi
mengatakan, Aceh merupakan daratan yang datar dengan tanah alluvial yang
terbentuk karena endapan. Derah yang datar menjadikannya ideal unuk
dijadikannya ibu kota karena daerah datar sangat baik untuk dibangun dan
diakses diwilayah lain cenderung terbuka. Namun, Banda Aceh juga rawan bencana.
Selain itu, menurut Deny, Aceh diapit dua patahan. Kedua daerah patahan lebih
tinggi dari Aceh. Sehingga menjadi faktor penyebab wilayah ini rawan gempa dan
rawan tsunami karena terdapat pantai.
Dengan
demikian, apabila Aceh dibangun kembali seharusnya dirancang sebagai kota yang
multi bahaya. Perencanaan kota harus dirancang sebagai alat mitigasi atau alat
memperkecil dampak bencana. Tata ruang yang baik membentu memperkecil jumlah
korban saat bencana terjadi dimasa mendatang.
·
Kontruksi tahan gempa
Bilamana melihat ke negara Jepang yang
sering dilanda gempa, fondasi rumah penduduknya disesuaikan dengan kondisi alam
sekitarnya. Pada umumnya rumah-rumah disana terdiri dari bahan kayu dan kertas.
Bentuj mejanya dibuat rendah sampai mendekati lantai sehingga tidak memerlukan
kursi. Lemarinya pun kebanyakan menyatu dengan dinding dengan penutup yang
dapat digeser. Penerapan desain rumah serta isinya tersebut dibentuk sedemikian
rupa agar bila terjadi gempa, baik bahan bangunan maupun furniturnya sedapat
mungkin tidak mencederai penghuni rumah.
Indonesia pun sebenernya merupakan
negara dengan berbagai intensitas genpa menengah sampai tinggi sehingga
rancangan bangunan sepatutnya memperhitungkan kemunginan itu. Menurut Dr. Ir
Iwayan Sengara, dosen Departemen Teknik Sipil ITB, sebenarnya ada peraturan
yang membahas rancang bangun tahan gempa. Rancangan bangun sesuai ketentuan
yang dirumuskan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Peraturan
Bangunan Tahan Gempa yang ditetapkan tahun 2002. Namun, peraturan ini relative
baru sehngga sosialisasinya masih terbatas.
·
Penggalakkan penanaman
Bakau
Daerah yang mengalami bencana terbesar
dari tsunami adalah Banda Aceh, Lhok Nga, dan Meulabboh. Bencana tersebut
selain diakibatkan oleh tingginya gelombang tsunami, juga di perparah oleh tata
ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat
pantai. Tidak ada sabuk hijau (green
belt). Mangrove hanya tinggal
sedikit yang hanya tumbuh di beberapa tempat. Selain itu, ada beberapa
fakta-fakta mengenai keadaan gelombang pasang yang menghantam Aceh. Pertama,
gelombang tsunami akan semakin jauh masuk ke daratan jika kondisi pesisir
miskin mangrove.
Kondisi gelombang bertolak pada wilayah
pesisir dengan mangrove yang intensif. “ketebalan hutan mangrove sekitar 1200
meter mampu mengurangi gelombang tsunami sekitar dua kilometer,” ujar widi.
Kedua, gelombang tsunami semakin pendek masuk ke daratan pada lahan pesisir
dengan kebun ekstensif dan masa bangunan bertingkat yang memenuhi persyaratan
teknis bencana. Oleh karena itu, sudah saatnya digalakkan penanaman bakau di
sepanjang pesisir daerah yang potensi terkena tsunami.
Hutan bakau memiliki perlindungan dan
pengamanan kawasan pesisir yang sangat baik. Setiap gelombang pasang yang
dating mampu diredakan melalui hutan yang lebat. Manfaat utama hutan mangrove
di kawasan pesisir dan estuaria adalah untuk mencegah erosi, penahan ombak,
penahan angin, perangkap sedimen dan penahan intrusi air asin dari laut. Sistem
perakarannya dapat berperan sebagai perangkap sediment dan pemecah gelombang.
Hal ini dapat terjadi apabila didukung oleh formasi hutan mangrove yang belum
terganggu atau kondisinya masih alami. Kerapatan hutan mangrove yang cenderung
menurun maka fungsinya sebagai peredam gelombang juga akan cenderung menurun
(Tjardhana dan Purwanto, 1995).
Menurut Widi A Pratikto, Direktur
Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, hutan
bakau (mangrove) yang memiliki ketebalan 60 meter sampai 75 meter dari bibir
pantai mampu mengurangi ketinggian gelombang laut sekitar 3,5 meter.
“ Jika terjadi gelombang pasang setinggi
4,3 meter di suatu daerah yang memiliki hutan bakau dengan lebar 65 meter dari
bibir pantai, hamparan bakau itu ternyata mampu menurunkan gelombang sehingga
saat di bibir pantai, gelombang tsunami itu semakin pendek, yakni tersisa satu
meter “, katanya.
Gambar
3. Hutan bakau Sebagai Peredam Ombak
A.
Rencana tata ruang
ramah bencana
Setelah pemulihan korban maupun
pengobatan pasca bencana tsunami. Batulah sebaiknya dilakukan perencanaan
rehabilitasi yang komprehensif dan terintegrasi. Artinya pemulihan itu bisa
dimulai dari pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana
restrukturisasi, dan perbaikan lingkungan. Maka dalam tahap rehabilitasi harus
dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di kemudian hari sehingga
dampaknya bisa diminimalkan.
Dalam upaya rehabilitasi diperlukan
perencanan dengan mempertimbangkan faktor fisik maupun lingkungan. Faktor fisik
yang perlu diperhatikan ialah stuktur bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan
sejajar dengan arah penjalaran gelimbang tsunami atau tegak lurus dengan
pantai, hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang menghantam bangunan lebih
kecil.
Upaya lainnya yang tidak kalah
pentingnya adalah dengan membuat tata ruang yang ramah bencana. Ditempat-tempat
yang berpotensi terkena tsunami harus ditata ulang. Tempat-tempat perlindungan
(shelter) perlu dibangun untuk
evakuasi jika tsunami terjadi di pesisir yang penduduknya padat. Model bisa
dilihat pada gambar 4.
Gambar
4. Pola Tata Ruang Rumah Bencana Tsunami
|
Dalam
perencanaan wilayah pantai di NAD dan Sumut, sebaiknya memenuhi persyaratan
rencana tata ruang yang telah diatur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup.
Dalam UU itu disebutkan 200 meter dari garis pantai harus ditetapkan sebagai
jalur hijau.
Pembangunan permukiman
yang terlalu dekat dengan garis pantai harus dihindari. Untuk NAD misalnya,
jarak tersebut disesuaikan dengan jarak jauh-dekatnya penetrasi tsunami ke arah
barat. Daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan kembali dengan mangrove
atau hutan pantai, sesuai dengan kawasan pesisirnya. Pantai yang tidak cocok
ditanami hutan mangrove bisa dihijaukan dengan hutan pantai (waru dan cemara).
Secara keseluruhan, fungsi pantai disajikan pada gambar 5.
Gambar
5. Fungsi Hutan Pantai Untuk Meredam Tsunami
Kementrian Lingkungan Hidup menyiapkan
desain lingkungan kota Banda Aceh. Desain itu akan dihadikan model ideal untuk
membangun kota-kota pesisir agar terlindung dari hantaman gelombang tsunami dan
lingkungannya tetap terjaga. Hal ini dikemukakan Menreg Lingkungan Hidup
Rachmat Witoelar.
“ Kota Banda Aceh dan pemukiman pesisir
lainnya yang terkena tsunami memang harus dibangun kembali. Ini kesempatan
untuk menjadikan kota-kota itu lebih baik kondisi lingkungan hidupnya. Tetapi,
penerapan tetap mengacu kepada keinginan orang-orang Aceh” ujarnya.
Model pembangunan pemukiman pesisir
tersebut, menurut Rachmat, dalam penerapan berdaya tangkal terhadap gelombang
tsunami. Pemukiman akan digeser ke dalam sesuai geomorfologinya, sementara
pesisir pantai ditanami mangrove sebagai penahanan ombak. “Selain buffer, aka
nada green belt yang dapat digunakan
sebagai ruang terbuka dan fasilitas umum” katanya.
Dia menambahkan bahwa rancangan
pembangunan kembali Banda Aceh harus diawali dengan suatu desain yang memenuhi
criteria lingkungan hidup. “ Jika tidak, akan terjebak kepada pembangunan yang
nantinya tidak ramah lingkungan.
Gambar
6. Teknik Perancanaan Wilayah Dasar Dalam Proyek Pengurangan Risiko Tsunami
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang
telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa peristiwa
besar yang dialami daerah Nanggro Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004 lalu,
tetutama dalam permasalahan kesehatan. Permasalahan yang ada sangatlah beragam,
seperti terganggunya kesehatan masyarakat Aceh maupun kesehatan lingkungan
setelah terjadinya tsunami. Upaya penanggulanagan dan pencegahan permasalahan
kesehatan pasca tsunami, yaitu penanganan jenazah yang baik, perbaikan dan
pengawasan kualitas air bersih, pengendalian kesehatan lingkungan pengungsian,
serta Pengawasan dan pengamanan makanan dan minuman.
Selain
itu, Perencanaan NAD pasca tsunami sebagai upaya meminimalkan dampak pasca
tsunami maupun bencana yang akan terjadi di masa mendatang. Misalnya penggalakkan
hutan mangrove, kontruksi tahan gempa dan perencanaan yang lainnya.
B.
Saran
Setelah pemulihan korban maupun
pengobatan pasca bencana tsunami. Barulah sebaiknya dilakukan perencanaan
rehabilitasi yang komprehensif dan terintegrasi. Artinya pemulihan itu bisa
dimulai dari pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana
restrukturisasi, dan perbaikan lingkungan. Maka dalam tahap rehabilitasi harus
dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di kemudian hari sehingga
dampaknya bisa diminimalkan.
Apabila Aceh dibangun kembali seharusnya
dirancang sebagai kota yang multi bahaya. Perencanaan kota harus dirancang
sebagai alat mitigasi atau alat memperkecil dampak bencana. Tata ruang yang
baik membentu memperkecil jumlah korban saat bencana terjadi dimasa mendatang.
Upaya lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah dengan membuat tata ruang yang
ramah bencana.
DAFTAR
PUSTAKA
Kompas Media
Nusantara. 2005. Bencana Gempa Dan Tsunami Nanggroe Aceh Darussalam &
Sumatera Utara. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Kementrian Agama RI,
2012. Penciptaan Bumi Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta :
Kementrian Agama RI
Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di
Kawasan Pesisir Pantai Timur Nangroe Aceh Darussalam,
B I O D I V E R S I T A S, ISSN: 1412-033X, Volume
8, Nomor 4 Oktober 2007, Halaman: 262-265
Emergency_and_humanitarian_action_Technical_quide_for_Health_Crisis_Response_in_Disaster
( Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana)
www.unhabitat-indonesia.org
Aceh Sanitation Assessment and Assistance
Program (ASAAP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar