UPAYA
PENYELESAIAN WANPRESTASI DEBITUR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. OTO
MULTIARTHA
CABANG
PONTIANAK
S k r i p s i
O l e h :
BUDI SANJAYA
NIM. A1012131021
KEMENTERIAN
RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap
manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya, sehingga
dalam kehidupannya manusia akan selalu melakukan berbagai kegiatan untuk
memenuhi kebutuhannya tersebut. Di dalam melakukan kegiatan tersebut,
masing-masing individu akan dihadapkan pada kebutuhan atau kepentingan yang
berbeda-beda, yang mana untuk memenuhinya dapat dilakukan dengan jalan
mengadakan hubungan dengan sesamanya.
Dengan seiring berkembangnya manusia,
segala cara dan upaya manusia di dalam kehidupan berusaha untuk mempermudah
mendapatkan barang-barang kebutuhannya, berbagai upaya kemudahan yang
diciptakan dengan cepat diserap dan diterapkan pula. Dalam salah satu upaya
manusia sendiri adalah untuk menciptakan keteraturan dan keharmonisan di dalam
meletakkan lalu lintas hukum terutama dalam melaksanakan perjanjian antar
masyarakat.
Perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bersifat terbuka, dan sering juga disebut
menganut asas kebebasan berkontrak yang mengandung arti bahwa setiap orang
diperbolehkan membuat perjanjian apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Salah
satu bentuk perjanjian adalah perjanjian pembiayaan konsumen yang lahir dari
pergaulan masyarakat berdasarkan asas kebebasan membuat perjanjian. Perjanjian
pembiayaan konsumen merupakan perjanjian di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang juga dikenal sebagai perjanjian tidak bernama (inominaat).
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu
kegiatan usaha lembaga pembiayaan yang tumbuh dan berkembang sejak dengan
dikeluarkannya pranata hukum berupa Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan diterbitkannya
Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Dewasa ini keberadaan kegiatan pembiayaan
konsumen menunjukkan perkembangan yang sangat baik. Pesatnya pertumbuhan bisnis
pembiayaan konsumen ini sekaligus menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk
membeli barang-barang dengan cara mencicil seiring dengan meningkatnya taraf
hidup masyarakat lapisan menengah ke bawah.
Perjanjian pembiayaan konsumen (consumer finance agreement) lebih
menekankan fungsi pembiayaan yaitu berkaitan penyediaan dana untuk pembelian
barang dari penjual yang dibuat antara perusahaan pembiayaan atau kreditur
dengan debitur atau penerima fasilitas pembiayaan dalam pembelian barang.
Terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat
dalam transaksi pembiayaan konsumen yaitu perusahaan pembiayaan, konsumen, dan
pemasok (supplier). Perusahaan
pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pembelian
barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran secara angsuran.
Konsumen adalah pembeli barang yang dananya dibiayai oleh perusahaan pembiayaan
konsumen. Sedangkan pemasok (supplier)
adalah perusahaan yang menjual barang-barang yang dibutuhkan konsumen dalam
rangka pembiayaan konsumen.
Terjadinya hubungan hukum antara
perusahaan pembiayaan konsumen dengan konsumen didahului dengan adanya perjanjian
jual beli antara pemasok dengan konsumen dengan syarat bahwa pembayaran secara
tunai atas harga barang akan dilakukan oleh pihak ketiga yaitu perusahaan
pembiayaan konsumen.
Selanjutnya berdasarkan perjanjian pembiayaan
konsumen yang telah ditanda tangani antara perusahaan pembiayaan berkedudukan
sebagai kreditur dengan konsumen berkedudukan sebagai debitur, secara yuridis
para pihak terikat akan hak dan kewajiban masing-masing sehingga harus
dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Pada prakteknya pelaksanaan perjanjian
pembiayaan konsumen tidak terlepas dari berbagai hambatan dan masalah yang
menyertainya, sehingga perusahaan pembiayaan harus menyiapkan berbagai upaya
penyelesaian guna mengatasi masalah yang timbul, demikian juga PT. Oto
Multiartha Cabang Pontianak berkedudukan di Jalan Teuku Umar, Komplek Pertokoan
Pontianak Mal Blok AA 50, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat merupakan perusahaan
pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha bidang pembiayaan konsumen yang berfokus
dalam pembiayaan kendaraan bermotor roda empat
untuk pembelian unit baru maupun bekas.
Dalam pelaksanaan perjanjian, PT. Oto
Multiartha Cabang Pontianak banyak menghadapi berbagai hambatan dan masalah
yang salah satunya yaitu kelalaian debitur membayar angsuran yang tentunya
tidak diharapkan karena hal ini menyebabkan kerugian bagi kreditur sebagai
pemberi fasilitas pembiayaan. Untuk itu, kreditur atau perusahaan pembiayaan perlu
melakukan upaya atau tindakan guna menyelesaikan masalah wanprestasi yang dilakukan
debitur dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan.
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh pada perusahaan
tersebut dengan mengkaji dan membahas lebih lanjut melalui penulisan karya
skripsi yang berjudul :
“UPAYA
PENYELESAIAN WANPRESTASI DEBITUR DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT.
OTO MULTIARTHA CABANG PONTIANAK”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan
menjadi fokus pembahasan penulisan ini yakni “Bagaimana Upaya Yang Dilakukan Pihak PT. Oto Multiartha Cabang
Pontianak Terhadap Debitur Yang Wanprestasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen?”
C.
Tujuan
Penelitian
Dengan berdasarkan pokok permasalahan
tersebut, adapun tujuan dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk
mendapatkan data dan informasi mengenai perjanjian pembiayaan konsumen pada PT.
Oto Multiartha Cabang Pontianak.
2. Untuk
mengungkapkan faktor penyebab debitur melakukan wanprestasi.
3. Untuk
mengungkapkan akibat hukum debitur melakukan wanprestasi.
4. Untuk
menjelaskan upaya hukum pihak PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak terhadap
debitur yang melakukan wanprestasi.
D. Kerangka Pemikiran
1.
Tinjauan Pustaka
Secara
yuridis ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata
Buku III tentang Perikatan. Perjanjian merupakan sumber dari perikatan
sebagaimana Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perikatan dapat lahir
dari suatu persetujuan (perjanjian) maupun dari undang-undang.
Adapun
yang dimaksud dengan perjanjian dapat dilihat dari rumusan Pasal 1313
KUHPerdata yang menyatakan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”.[1]
Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat
bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313
KUHPerdata tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan
itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas
karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin yaitu perbuatan
dilapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.[2]
Selanjutnya M. Yahya Harahap memberikan
definisi perjanjian atau verbintenis adalah
“Suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih
yang memberi kekuatan baik pada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”[3]
Perikatan yang lahir dari undang-undang terjadi
karena adanya hubungan hukum dari suatu peristiwa tertentu yang menimbulkan hak
dan kewajiban bukan berasal atau merupakan kehendak para pihak, akan tetapi
telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan perikatan yang lahir
dari perjanjian berasal dari hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban
atas kemauan atau kehendak dari para pihak yang mengikatkan diri untuk membuat
perjanjian.
Suatu perjanjian sah artinya perjanjian yang
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang sehingga
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian tersebut diatur
dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari
empat syarat yaitu:
1.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
suatu hal tertentu
4.
suatu sebab yang halal [4]
Dari keempat syarat pokok di atas dapat
diklasifikasikan dalam 2 (dua) kelompok, antara lain sebagai berikut:
1.
Syarat subjektif yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subjek perjanjian yang meliputi kesepakatan dan
kecakapan bertindak. Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi, maka salah
satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut.
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksud dari kata sepakat yaitu tercapainya
persetujuan kehendak antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian yang
dibuat. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri atau
persetujuan kehendak artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian harus
mempunyai kemauan secara sukarela.
Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak artinya kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.
Berkaitan dengan hal ini yang dimaksud orang yang tidak cakap melakukan suatu
perikatan adalah orang yang belum dewasa dan setiap orang yang di bawah
pengampuan.
2.
Syarat objektif yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek
perjanjian yang meliputi suatu perihal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi maka akibat hukumnya perjanjian
tersebut batal demi hukum artinya bahwa dari semula tidak pernah ada suatu
perjanjian atau suatu perikatan.
a.
Suatu hal tertentu
Maksud
dari suatu hal tertentu adalah objek perjanjian, pokok perjanjian, dan prestasi
yang harus dipenuhi. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan “hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
Selanjutnya dalam pasal 1333 ayat (1)
KUHPerdata merumuskan bahwa “Suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Objek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan
hak dan kewajiban kedua pihak dalam suatu perjanjian.
b.
Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi
dan tujuan perjanjian. Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum”. Jika suatu perjanjian tidak ada sebab atau dibuat karena sebab yang
palsu atau terlarang maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian
bertujuan memiliki suatu perikatan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban
untuk dapat dilaksanakan. Asas kebebasan
berkontrak merupakan suatu dasar yang memberikan kebebasan para pihak untuk
membuat suatu perjanjian, menentukan persyaratan dan pelaksanaan serta bentuk
perjanjian secara lisan atau tertulis.
Dasar
perikatan hukum perjanjian yang dibuat secara sah diatur dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menyatakan “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
Dari rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, Subekti
memberikan pendapatnya untuk memperjelas maksud dari ketentuan tersebut yaitu “Bahwa
segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya maksudnya suatu perjanjian yang dibuat sah tidak bertentangan
dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak”.[5]
Salah satu bentuk perjanjian yaitu Perjanjian Pembiayaan
Konsumen. Perjanjian pembiayaan konsumen merupakan perjanjian tidak bernama (inominaat) atau perjanjian di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berkembang dan banyak digunakan dalam
kehidupan masyarakat.
Munir Fuady
memberikan pengertian tentang perjanjian pembiayaan konsumen dengan mengatakan
bahwa:
Hubungan antara kreditor dengan konsumen
adalah hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. Dalam
hal ini pihak pemberi biaya sebagai kreditor dan pihak penerima biaya
(konsumen) sebagai debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban utama untuk
memberi sejumlah uang untuk pembelian barang konsumsi, sementara pihak penerima
biaya (konsumen) berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara
cicilan kepada pihak pemberi biaya. Jadi, hubungan kontraktual antara pihak
penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian kredit.[6]
PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak adalah salah satu
perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha dibidang pembiayaan
konsumen. Dalam Pasal 1 butir b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tetang Perusahaan Pembiayaan dijelaskan bahwa “Perusahaan pembiayaan adalah
badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan
untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka (2) Peraturan
Presiden RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, mengenai kegiatan
usaha perusahaan pembiayaan dapat dilihat bahwa perusahaan pembiayaan adalah “Badan
usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,
Pembiayaan Konsumen, dan/atau Usaha Kartu Kredit”.
Pada dasarnya perjanjian pembiayaan konsumen merupakan
dokumen hukum utama (main legal document)
bagi perusahaan pembiayaan yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga perjanjian tersebut memiliki
kekuatan hukum mengikat seperti diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata merumuskan:
Semua Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.[7]
Pengertian
perjanjian pembiayaan konsumen dapat dilihat dari pendapat yang dikemukan oleh Salim
HS yang menyebutkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen adalah:
Kontrak atau perjanjian yang dibuat antara
pemberi fasilitas dengan penerima fasilitas, dalam hal ini pemberi fasilitas
menyediakan dana untuk membeli barang dari penjual barang, untuk digunakan oleh
si penerima fasilitas, dan penerima fasilitas berkewajiban membayar pinjaman
itu, baik berupa pokok dan bunga, sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan oleh kedua belah pihak.[8]
Hubungan
kontraktual dalam perjanjian pembiayaan merupakan hubungan timbal balik yang
menimbulkan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh kreditur maupun debitur. Prestasi merupakan sesuatu yang wajib
dipenuhi oleh para pihak dalam suatu perjanjian yang telah disepakati.
Adapun
bentuk-bentuk prestasi menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yaitu memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat
terjadi wanprestasi yakni apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
atau prestasinya yang telah disepakati bersama dalam perjanjian.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman menyatakan “Bahwa
di dalam suatu wanprestasi atau ingkar janji suatu perikatan apabila debitur
karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjian maka dapat
dikatakan bahwa debitur itu wanprestasi atau ingkar janji”.[9]
Lebih lanjut menurut Abdulkadir Muhammad
beberapa hal dapat terjadi dan dikatakan melanggar suatu perjanjian atau
wanprestasi yaitu apabila satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung jawabnya
dan menolak melaksanakan kewajiban di pihaknya hal ini dapat terjadi pada waktu
maupun sebelum pelaksanaan perjanjian, seseorang dapat menolak kewajibannya
secara diam-diam dengan membuat dirinya sendiri tidak mampu melaksanakan
kewajibannya, kemungkinan lain satu pihak hanya lalai melaksanakan satu atau
beberapa dari banyak kewajibannya dalam perjanjian itu.[10]
Berdasarkan pengertian wanprestasi tersebut di atas,
wanprestasi debitur dapat dirumuskan ke dalam empat macam yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa dijanjikannya tetapi terlambat;
d.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.[11]
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai melalukan prestasi, dapat
dikenakan sanksi hukum atau hukuman sebagai berikut:
1. Perikatan
tetap ada, artinya bahwa kreditor masih dapat menuntut kepada debitor
pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu
kreditor berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan
prestasinya. Hal ini disebabkan kreditor akan mendapat keuntungan apabila
debitor melaksanakan prestasi tepat pada
waktunya;
2. Debitor
harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata);
3. Beban
resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor
wanprestasi kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak
kreditor. Oleh karena itu, debitor tidak dibenarkan untuk berpegang pada
keadaan memaksa.
4. Jika
perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266
KUHPerdata.[12]
Selanjutnya menurut Subekti bahwa ada empat macam
akibat hukum bagi debitur yang lalai yaitu:
a. Membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
b. Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c. Peralihan
resiko;
d. Membayar
biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan hakim.[13]
Dengan berberapa akibat
hukum dari wanprestasi tersebut, adapun upaya atau tindakan yang dilakukan jika
salah satu pihak belum melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang
disepakati maka pihak yang dirugikan dapat memperingatkan untuk berprestasi
melalui teguran secara lisan maupun tertulis berupa surat peringatan atau
somasi.
Menurut J.
Satrio, somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada
suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi/teguran.[14]
Saat debitur berada dalam keadaaan lalai atau
wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri,
ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan”
Berdasarkan
rumusan Pasal 1238 KUHPerdata di atas, menurut
Mariam Darus Badrulzaman memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Pernyataan lalai (ingbrekestelling) adalah upaya hukum (rechtimiddel) dengan mana kreditur memberitahukan, menegur,
memperingatkan (aanmaning, sommatie, kenningsgeving) debitur saat
selambat-lambatnya ia wajib memenuhi prestasi dan apabila saat itu terlampaui,
maka debitur telah lalai”[15]
Di samping upaya
yang dapat dilakukan kreditur terhadap debitur yang wanpretasi agar memenuhi
kewajiban dalam perjanjian, hak yang sama juga ada pada debitur untuk melakukan
upaya atau pembelaan. Hak ini penting mengingat apabila debitur dinyatakan
wanprestasi maka menimbulkan akibat hukum yang harus dipertanggung jawabkannya.
Oleh karena itu debitur
dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri agar terbebas dari akibat hukum.
Debitur dapat mengajukan beberapa macam alasan atau pembelaan yaitu:
a.
Mengajukan
tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht
atau force majure).
b.
Mengajukan
bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus).
c.
Mengajukan
bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.[16]
Sebagai salah satu bentuk usaha dari lembaga
pembiayaan, pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek
jaminan. Namun karena pembiayaan konsumen merupakan lembaga bisnis, maka
kegiatan pembiayaan konsumen tidak bisa lepas dari unsur resiko. Oleh karena
itu, dalam praktik perusahaan pembiayaan konsumen akan meminta jaminan tertentu
guna mengamankan pembiayaan yang diberikan kepada konsumen.
Adapun beberapa jenis jaminan dalam perjanjian pembiayaan
konsumen yaitu jaminan utama berupa jaminan kepercayaan, jaminan pokok berupa
barang yang dibiayai secara fidusia, dan jaminan tambahan seperti pengakuan
hutang dan kuasa menjual.[17]
Dalam pemberian fasilitas pembiayaan kendaraan
bermotor roda empat pada PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak dipersyaratkan jaminan pokok berupa kendaraan
bermotor roda empat sebagai jaminan fidusia dalam perjanjian pembiayaan. Jaminan
secara fidusia artinya pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikan dialihkan tetap dalam tetap
dalam pengawasan pemilik benda.[18]
2.
Kerangka
Konsep
Meningkatkannya
pertumbuhan ekonomi suatu negara membawa dampak meningkatnya kebutuhan hidup
dari masyaratkat tersebut. Dalam era globalisasi ini semakin cepat mobilitas
seseorang, maka akan semakin mampu orang tersebut memenuhi kehidupan hidupnya,
dan kendaraan merupakan alat transportasi yang membantu manusia untuk
mempercepat mobilitasnya. Akan tetapi tidak semua golongan masyarakat mampu
untuk membeli kendaraan bermotor sesuai kebutuhannya secara tunai karena
keterbatasan dana, sehingga untuk membantu penyediaan dana tersebut muncullah perusahaan
pembiayaan sebagai alternatif sumber dana bagi masyarakat.
PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak sebagai
salah satu perusahaan pembiayaan dalam melakukan kegiatan pembiayaan
berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen. Pembiayaan yang diberikan berupa
fasilitas pinjaman dana kepada debitur untuk pembelian kendaraan bermotor roda
empat dari pemasok atau supplier.
Perjanjian
pembiayaan konsumen berupa perjanjian baku yang telah disiapkan oleh perusahaan
pembiayaan untuk calon debitur yang mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan
yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam
pelaksanaannya, semakin berkembangnya kebutuhan pembiayaan konsumen seiringan
semakin banyak pula permasalahan wanprestasi yang terjadi dalam hal pembayaran
angsuran pada perusahaan pembiayaan. Wanprestasi merupakan suatu keadaan tidak
memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Oleh
karena itu, dalam menghadapi permasalahan tersebut, perusahaan pembiayaan dalam
hal ini PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak perlu melakukan upaya untuk
penyelamatan aset jaminan sehingga meminimalisasi kerugian, apabila debitur melakukan
wanprestasi dalam pembayaran angsuran.
Upaya
atau tindakan penyelesaian yang dapat dilakukan kreditur terhadap debitur yang melakukan
wanprestasi yaitu dengan cara musyarawah atau melakukan perundingan secara
kekeluargaan dalam meminta pemenuhan pembayaran angsuran, memberikan teguran
berupa surat peringatan, atau melakukan eksekusi jaminan fidusia dengan
melakukan penarikan kendaraan bermotor roda empat, ataupun upaya mengajukan
gugatan ke pengadilan.
E.
Hipotesis
Hipotesis
dapat diartikan sebagai suatu dalil yang belum menjadi dalil sesungguhnya oleh
karena masih harus diuji atau dibuktikan kebenarannya dalam penelitian.
Berdasarkan dari permasalahan yang akan diteliti, maka penulis
merumuskan hipotesis sebagai berikut: “Bahwa
Upaya PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak Menyelesaikan Wanprestasi Debitur Dalam
Perjanjian Pembiayaan Konsumen Kendaraan Roda Empat Dengan Pemberian Surat Peringatan
Disertai Penarikan Unit Kendaraan”.
F.
Metode
Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penulis
pada penelitian ini mengunakan jenis penelitian hukum empiris dengan pendekatan
deskriptif analisis yaitu menggambarkan dan menganalisa keadaan dan realitas
yang ada pada saat dilakukan penelitian sehingga dapat ditarik kesimpulan
sehubungan dengan masalah yang diteliti.
2. Data dan Sumber Data
Data
dalam penelitian hukum empiris ada 2 (dua) jenis yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden maupun
informan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan.
Maka
untuk menghimpun data primer dan data sekunder, penulis menggunakan 2 (dua)
bentuk penelitian yaitu:
a.
Penelitian Kepustakaan
(Library Research)
Penelitian
kepustakaan yaitu kegiatan penelitian dengan mempelajari dan menghimpun
berbagai literatur-literatur, buku-buku pendukung, peraturan perundang-undangan,
pendapat para sarjana, serta bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian.
Penelitian
Lapangan (Field Research)
b. Penelitian lapangan yaitu suatu kegiatan penelitian
lapangan yang dilakukan penulis secara langsung pada objek penelitian untuk
mendapatkan dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan masalah dalam
penelitian.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan
permasalahan dan tujuan penelitian serta informasi yang akan diungkapkan, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Teknik
Komunikasi Langsung
Teknik komunikasi langsung yaitu
mengadakan kontak langsung untuk memperoleh data dengan melakukan wawancara
atau tanya jawab secara langsung dengan respoden yaitu Pimpinan PT. Oto
Multiartha Cabang Pontianak.
2. Teknik
Komunikasi Tidak Langung
Teknik komunikasi tidak
langsung yaitu mengadakan kontak tidak langsung terhadap sumber data respoden
melalui angket atau kuisioner yang diberikan kepada debitur pada PT. Oto
Multiartha Cabang Pontianak yang telah ditentukan.
4. Populasi dan Sampel
Penelitian
a. Populasi
Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau
unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama.[19] Populasi
merupakan keseluruhan dari objek pengamatan atau obyek penelitian. Adapun yang
menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu:
- Pimpinan
PT. Oto Multiartha Cabang Pontianak.
- Debitur
yang mengalami wanprestasi dalam kurun waktu 6 bulan terakhir periode bulan
April 2016 s/d bulan September 2016 yang berjumlah 680 orang.
b. Sampel
Sampel adalah bagian
dari populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan teknik random
sampling atau sampel acak di mana setiap manusia atau unit memiliki
kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi unsur dalam sampel. Mengenai penentuan
sampel berdasarkan pendapat Ronny Hanitijo Soemitro yang menyatakan bahwa:
Pada prinsipnya tidak ada
peraturan-peraturan yang secara ketat menentukan berapa persen sampel tersebut
harus diambil dari populasi. Namun pada umumnya orang berpendapat bahwa sampel
yang berlebihan itu lebih baik daripada kekurangan sampel (over sampling is always better than under sampling). Biasanya yang
menentukan besar kecilnya sampel berdasarkan kebutuhan praktis saja. Misalnya
mengingat faktor bimbingan, limit waktu yang diberikan, kemampuan fisik dan
intelektual dari peneliti, ciri-ciri khas fenomena yang diteliti atau digarap,
dan lain-lain.[20]
Maka
penulis menentukan jumlah sampel dalam peneltian ini sebagai berikut:
-
Pimpinan PT. Oto
Multiartha Cabang Pontianak.
-
20 orang debitur (3%
dari jumlah debitur yang wanprestasi sebanyak 680 orang).
[1] R.Subekti dan R.
Tjitrosudibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Pramita, Jakarta, h. 338.
[2] Mariam Darus
Badrulzaman, 2006, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, h. 89.
[5] Subekti, 2001, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti I), h. 139.
[6] Salim HS, 2015, Hukum
Kontrak : Perjanjian, Pinjaman dan Hibah, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Salim HS I), h. 47.
[7] R.Subekti dan R.
Tjitrosudibio, op.cit, h. 342.
[8] Salim HS I, loc.it.
[9] Mariam Darus
Badrulzaman, 2006, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, h. 23.
[10] Abdulkadir Muhammad,
1986, Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung, h.158 - h.159.
[11] Subekti, 2002, Hukum
Perjanjian, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Subekti II) h.
45.
[12] Salim HS, 2005, Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Salim HS II), h. 163.
[13] Subekti II, loc.cit
[14] Anonim, 2012, (Cite
2016, Sep. 25), available from URL: http:// www.hukum online. com
/klinik/detail/cl483/apakah-somasi-itu
[15] Mariam Darus
Badrulzaman, op.cit. h. 17.
[16] Subekti II, op.cit,
h. 55.
[18] Gunawan Widjaja dan
Ahmad Yani, 2007, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada Jakarta. h. 128.
[19] Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta, h. 172.
[20] Ronny Hanitijo
Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
h. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar